Jatuh Bangun Karier Politik Ade Angga

Ade Angga. (Foto: Suhardi/Ulasan.co)
Ade Angga. (Foto: Suhardi/Ulasan.co)

Namanya selalu wara-wiri dalam bursa pemilihan kepala daerah di Tanjungpinang. Ia dianggap figur potensial. Dua periode duduk di DPRD, lelaki 41 tahun ini pernah “sejengkal lagi” menduduki kursi wakil wali kota. Politik yang ia kenal sedari muda, lagi-lagi mengajarkannya banyak hal.

DEDEN ROSANDA, Tanjungpinang

Foto seorang mahasiswa memegang pengeras suara di tengah kerumunan itu diposting 9 Juli 2009 silam di laman Facebooknya. Dikelilingi rekan dan petugas keamanan, pemuda beralmamater biru langit tersebut terlihat berorasi.

Di foto lainnya, masih di album yang sama, ia tampak berdiri di antara rekannya yang duduk membentangkan poster bernada protes kepada Presiden Amerika Serikat kala itu, George Walker Bush. Demo ini menentang agresi AS ke Irak.

Lalu, ada pula foto-foto aksi damai sambil menyalakan lilin di pinggir jalan dan foto unjukrasa menuntut Kapolda Riau masa itu, Brigjen Deddy S Komaruddin, turun dari jabatannya.

Yang mencuri perhatian dari foto-foto medio 2002-2003 itu adalah si pemimpin demo, yang kini lebih sering terlihat bernampilan rapi dan jadi salah satu tokoh penting Partai Golkar Kepri: Ade Angga.

Ade Angga berorasi saat memimpin aksi demo bersama BEM Unri.
Ade Angga berorasi saat memimpin aksi demo bersama BEM Unri. (Foto: Istimewa)

Bukan Keluarga Politikus

Janji bertemu Ade Angga disepakati Rabu (16/11) jam 11.00, di Abita Cafe & Resto, Jl. DI Panjaitan, Batu 7, Tanjungpinang. Ia datang tepat waktu. Turun dari SUV putih, Ade Angga ingin ngobrol-ngobrol berlangsung santai, sambil minum dan makan siang. Khas politikus.

Tapi rupanya ia sedang saum. Bayar utang puasa Ramadan katanya. “Silakan, nggak apa-apa,” ujar Wakil Ketua Bidang Organisasi Kaderisasi dan Keanggotaan DPD Partai Golkar Kepri itu.

Mengenakan batik lengan panjang warna biru tua plus songkok hitam, Ade Angga bercerita tentang banyak hal, termasuk pengalaman berpolitik hingga kehidupan.

Lahir di Tanjungpinang, 5 Oktober 1981, Ade Angga merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan Zakaria-Mardiana Pasaribu. Bapaknya, asli Melayu. Pekerjaan swasta, atlet sepakbola. Sementara ibunya, penyiar di Radio Republik Indonesia (RRI).

“Dari keluarga memang nggak ada orang politik. Bapak-ibu biasa. Jadi (terjun ke politik) memang keinginan sendiri,” ungkapnya.

Sempat di PKS

Ade Angga menghabiskan masa kecil di wilayah Teluk Keriting, Tanjungpinang. Rumahnya separo di darat, separo lagi condong ke laut. Saat air pasang, ia dan teman-temannya biasa berenang. Lazimnya anak-anak yang hidup di pesisir, saat air surut mereka juga berkarang, mencari gonggong dan sejenisnya.

SDN 005 di Jalan Bali, Tanjungpinang Barat jadi tempat Ade Angga memulai pendidikan formal pertamanya. Ia kemudian melanjutkan ke SMPN 1, lalu SMAN 1 Tanjungpinang. Di SMPN 1, Ade mulai aktif di PKS.

“Jadi sebelum ke Golkar sebenarnya saya ke PKS dulu. Tapi PKS yang ini Patroli Keamanan Sekolah, tukang ngatur-ngatur jalan kalau ada murid mau menyeberang,” kata Ade berkelakar.

Jika semasa SMP ia aktif sebagai PKS, di SMA ia memilih ikut Palang Merah Remaja (PMR). Dari sini ketertarikan Ade Angga dalam beroganisasi mulai tumbuh.

Tamat SMA, Ade Angga menyusul kakaknya, Dini Miranti yang lebih dulu kuliah di Universitas Riau (Unri). Di Unri Ade Angga mengambil jurusan Ilmu Pemerintahan.

Dari Jalanan ke Jalur Konstitusi

Ade langsung aktif di kegiatan mahasiswa pada tahun pertamanya kuliah. Semangat era Reformasi ketika itu mendorongnya ambil bagian di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unri. Tahun 2002, ia terpilih sebagai Presiden Mahasiswa (Presma) kampus tersebut.

Ade Angga memimpin aksi damai mahasiswa. (Foto: Istimewa)
Ade Angga memimpin aksi damai mahasiswa. (Foto: Istimewa)

Sejak saat itu, ia mulai sering turun ke jalan, memimpin demonstrasi maupun aksi-aksi damai. Bakat Ade berorganisasi pun semakin terasah. Ia terlihat lebih menonjol dibanding seangkatannya di Unri ketika itu. Selain mengkordinir pergerakan, ia juga piawai berorasi.

Penyuka novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer ini juga aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Riau. Organisasi itu turut berperan mengembangkan kemampuannya dalam berorganisasi, termasuk leadership.

Kemampuan di lapangan dan gaya diplomasi Ade Angga di sejumlah pergerakan mahasiswa, rupanya terendus pencari bakat dari Partai Golkar. Kuliah belum lagi tuntas, ia sudah diajak bergabung ke partai berlambang beringin itu.

Keputusan Ade Angga menjadi bagian dari partai yang sangat berkuasa sebelum jatuhnya Presiden Soeharto pada 1998 tersebut, sempat mendapat kritikan dari rekan-rekannya sesama aktivis mahasiswa. Apalagi Golkar dicap sebagai mesin Orde Baru dan dianggap tak reformis.

“Banyak rekan-rekan mengkritik. Tapi keputusan saya ketika itu bisa saya buktikan sekarang,” ungkapnya.

Ade Angga bersama para senior Partai Golkar. (Foto: Istimewa)
Ade Angga bersama para senior Partai Golkar. (Foto: Istimewa)

Euforia Reformasi memang melahirkan banyak partai baru kala itu. Masyarakat, termasuk Ade Angga muda, punya banyak pilihan. Namun ia mengaku tidak tertarik. Ia memilih Golkar karena yakin dengan paradigma baru yang ditawarkan, yang akan membuat partai ini terus maju dan berkembang.

“Golkar saat itu diisi banyak tokoh-tokoh muda dari kalangan intelektual. Kerangka berpikirnya juga modern. Saya yakin,” ujarnya.

Tahun 2003, melalui rekomendasi Akbar Tanjung yang pada masa itu menjabat Ketua Umum, ia resmi bergabung sebagai kader Partai Golkar Kepri pimpinan Ansar Ahmad. Meski usianya baru 22 tahun, Ade Angga sudah dipercaya menduduki jabatan penting.

Bersama para senior Golkar Kepri, seperti Nursyafriadi yang saat itu menjabat Ketua DPRD Kepri dan Taba Iskandar menjabat Ketua DPRD Batam, Ade ditempatkan sebagai wakil sekretaris.

Kesibukan di dunia politik membuat kuliahnya di Unri sempat molor dari rencana. Ade pun segera menuntaskan S1-nya dan menyabet gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan.

Meski latarbelakang pendidikannya Ilmu Pemerintahan, namun Ade Angga justru lebih berminat membangun bisnis, ketimbang jadi pegawai negeri. Tahun 2005, bersama Rizki Faisal, koleganya di Golkar, ia mendirikan perusahaan jasa rehabilitasi gedung dan bangunan.

Dari usaha itu, ia mengaku bisa menabung, meskipun tak banyak. “Hasilnya saya pakai menghajikan ibu. Selebihnya, ada lah kebeli mobil bekas, Suzuki Sidekick,” kenangnya sambil tersenyum.

Di antara kesibukan bisnis dan karier politiknya, Ade Angga tak melupakan janji menikahi Yesi Perdeawati, perempuan yang mencuri hatinya saat kegiatan kaderisasi HMI, semasa masih kuliah dulu. Tahun 2008, di usia 27, Ade Angga memperistri perempuan asal Bukittinggi, Sumatera Barat itu.

“Dia adik tingkat saya di Unri, cuma beda jurusan. Saya Ilmu Pemerintahan, istri Pertanian,” ujarnya.

Ada Menang-Ada Kalah

Kehadiran Yesi, ditambah bimbingan para seniornya di Golkar, membuat karier politik penyandang S2 Magister Manajemen UIB ini progres. Tahun 2010, di usia 28 tahun, ia terpilih sebagai Ketua DPD Golkar Tanjungpinang. Namanya tercatat sebagai ketua termuda di Partai Golkar se-Indonesia yang memegang jabatan tersebut.

Tahun-tahun selanjutnya karier politik Ade Angga kian moncer. 2014 hingga 2019, ia terpilih menjadi legislator dengan jabatan Ketua I DPRD Tanjungpinang. Periode berikutnya, 2019-2024, ia kembali dipercaya mewakili daerah pemilihannya dan menduduki jabatan Wakil Ketua I DPRD Tanjungpinang.

Ade ANgga saat menjabat Wakil Ketua I DPRD Tanjungpinang. (Foto: Istimewa)
Ade ANgga saat menjabat Wakil Ketua I DPRD Tanjungpinang. (Foto: Istimewa)

Di tengah perjalanan, tepatnya 2021, Ade mengundurkan diri dari DPRD. Namanya diusulkan menjadi Wakil Wali Kota Tanjungpinang sisa masa jabatan 2018-2023, mengisi jabatan wakil sebelumnya, Rahma yang diangkat menjadi wali kota, pasca-meninggalnya Syahrul.

Ia pun harus berhadapan dengan calon wakil wali kota lainnya dari Partai Gerindra, Endang Abdullah. Dalam pemilihan yang ketat dan diwarnai kontroversi itu, Ade Angga harus mengakui keunggulan suara lawannya tersebut.

“Berpolitik sama halnya dengan berkompetisi. Ada menang-ada kalah,” ungkap Ade yang kini masih menempuh S3 Jurusan Administrasi Publik, Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung ini.

Tunggu Hasil Pileg

20 tahun berkecimpung di dunia politik, Ade Angga mengaku sempat diserang rasa jenuh. Terutama saat menjalani rutinitas di DPRD. Namun kejenuhan itu ia singkirkan dengan lebih banyak menemui masyarakat.

“Terkadang rapat-rapat itu membuat kita jenuh. Makanya saya lebih memilih berkegiatan bersama masyarakat. Jadi hilang jenuhnya,” kata ayah empat anak ini.

Apa langkah politik selanjutnya, mengingat Pemilu 2024 kian dekat? Ade Angga mengaku masih akan fokus terlebih dulu ke pemilihan legistalif. Soal Pilkada Tanjungpinang? Ia belum mau berspekulasi.

“Pilkada (pencalonan dan koalisi) diputuskan setelah Pileg. Kita lihat saja konstelasinya bagaimana,” ujarnya.