Kisah Haji Akob, Saudagar Kopra dari Berakit yang Tewas Ditembak Perampok

Rumah Tua Melayu Berakit di Tanjungberakit. (Foto: Deden Rosanda)
Rumah Tua Melayu Berakit di Tanjungberakit. (Foto: Deden Rosanda)

Rumah Tua Melayu Berakit di Tanjungberakit, Kecamatan Teluk Sebong, Bintan yang berdiri sejak 1908, meninggalkan banyak kisah menarik. Salah satunya, kematian dramatik Haji Akob saat menghadapi tujuh perampok yang merampas hartanya.

DEDEN ROSANDA, Bintan

Haji Akob aslinya orang Bangka Belitung. Ia keturunan Cina Muslim. Bapaknya, Haji Jalil, seorang mualaf. Haji Jalil hijrah dari Bangka ke Daik, Lingga pada akhir abad ke-18. Ia membawa istri dan tiga putranya, Akob, Muhammad Nuh, dan Muhammad Ali.

Tak lama di Lingga, mereka sekeluarga memutuskan pindah dengan berlayar membelah lautan Kepri menggunakan perahu kayu ke Tanjungberakit, di ujung Pulau Bintan.

“Kalau melihat peta (jarak Daik-Berakit sekitar 158 Km), apalagi dengan kondisi laut di sana, rasanya tak masuk akal berlayar pakai perahu kecil. Tapi memang seperti itulah keadaannya waktu itu,” kata Abdullah dijumpai di Teluk Bakau, Gunung Kijang, Bintan, Rabu (19/10) siang.

Abdullah adalah generasi ketiga keluarga Haji Akob. Dari penikahan dengan Hajah Atut, Haji Akob mendapat empat anak: Kalsum, Nikmat, Usman dan Muhammad. Abdullah adalah anak Haji Nikmat. Ia saat ini bekerja di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bintan.

Abdullah
Abdullah. (Foto: Istimewa)

Menurut Abdullah, sebelum benar-benar pindah, antara tahun 1906 hingga 1908, Haji Akob sudah bolak-balik Daik-Berakit untuk membuka lahan dan membangun rumah di Tanjungberakit. Bukan satu, melainkan tiga rumah sekaligus. Jaraknya saling berdekatan. Satu rumah untuk Haji Akob sendiri, sedangkan lainnya untuk dua saudaranya, Haji Muhammad Nuh dan Muhammad Ali.

“Dari tiga rumah yang selesai dibangun tahun 1908 itu, saat ini tersisa cuma rumah Haji Akob, yang sekarang kita kenal sebagai Rumah Tua Melayu Berakit,” ungkapnya.

Rumah Tua Melayu Berakit adalah bangunan tempat tinggal model panggung dengan atap berbentuk limas. Dinding dan lantainya berbahan kayu. Ada merbau, ada pula kayu kapur. Agar tetap lestari, kediaman Haji Akob tersebut baru-baru ini ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Provinsi Kepri.

Di Berakit, rumah Haji Akob salah satu yang paling mentereng pada masa itu. Maklum, Haji Akob pedagang partai besar. Ia seorang saudagar. Bersama sang adik, Muhammad Nuh, Haji Akob mengolah kelapa dari kebun mereka yang luas di Berakit, menjadi kopra alias kelapa kering. Hasilnya sangat melimpah. Sebagian dijual ke Singapura, sebagian lagi ke Malaysia.

“Balik dari jual kopra di Singapura atau Malaysia, Haji Akob biasanya bawa banyak belanjaan,” kata Abdullah.

Beberapa barang peninggalan, seperti radio hingga kamera kuno yang masih tersimpan di Rumah Tua Melayu Berakit, cukup menggambarkan betapa makmur kehidupan Haji Akob dari perniagaan kopra ke dua negeri jiran itu.

“Satu-satunya rumah yang punya televisi, ya Haji Akob. Kalau sudah ada acara di tivi, bisa sekampung yang datang menonton,” tutur Abdullah.

Disatroni Tujuh Perampok

Haji Akob meninggal dalam peristiwa perampokan dramatik di areal Rumah Tua Melayu Berakit, 80 tahun silam. Abdullah mengisahkan.

Hari masih terang ketika sejumlah orang tak dikenal tiba-tiba muncul secara bergantian di kediaman Haji Akob di Tanjungberakit, pada tahun 1942. Entah apa urusannya, mereka bertanya tentang tata niaga kopra, cara mengupas kelapa, dan pengolahannya. Haji Akob menjawab tanpa rasa curiga.

“Mereka cuma pura-pura bertanya. Padahal sebenarnya sedang menggambar situasi,” Abdullah menuturkan cerita yang ia dapat dari bapaknya, Haji Nikmat.

Hari berganti. Di suatu malam yang sunyi, masih di tahun 1942 itu, rumah Haji Akob digedor tamu tak diundang. Jumlahnya tujuh orang. Merasa ada yang tidak beres, ia meminta sang istri, Hj Atut dan anak-anaknya bersembunyi.

Suasana makin mencekam ketika sekelompok lelaki yang belakangan diketahui hendak merampok itu, mulai mendobrak pintu rumah Haji Akob hingga jebol. Salah satu perampok bahkan melepaskan tembakan ke dinding rumah yang terbuat dari susunan papan kayu tersebut.

“Waktu itu bapak saya (Haji Nikmat) sembunyi di balik dinding (papan). Kena tembaklah betisnya,” kata Abdullah seraya menyebut saat kejadian usia bapaknya 12 tahun.

Perampok mulai masuk ke dalam rumah. Haji Akob yang kalap melihat putranya terkena peluru liar, tak mampu berbuat apa-apa. Ia mencoba menuruti semua perintah perampok yang terus mencari sambil mengambil barang-barang berharga di rumahnya.

Hingga akhirnya ia mendengar sang istri, Hj Atut, yang kala itu sedang menggendong putra bungsunya, Muhammad, berteriak kesakitan. “Kepala bagian belakang istrinya berlumuran darah karena digetok oleh salah satu perampok. Di situ Haji Akob sangat marah,” kata Abdullah.

Haji Akob yang kala itu berumur sekitar 50-an tahun bergegas mengambil sebilah keris. Para perampok yang melihat tuan rumah menenteng senjata tajam dengan wajah beringas, memilih mundur, berpencar ke luar.

Sang pimpinan rampok tak luput dari incaran Haji Akob. Ia mengejar dan menancapkan keris beberapa kali ke tubuh pimpinan rampok itu hingga tumbang lalu tewas di tempat. Haji Akob lantas mengincar perampok lain dan menikamnya.

“Waktu menikam orang yang kedua, kerisnya nancap di badan perampok itu. Jadi pas dicabut, terlepaslah keris dari gagangnya,” kata Abdullah sambil tangannya memeragakan gerakan mencabut keris.

Haji Akob sudah tak bersenjata ketika itu. Dari kegelapan, di balik pagar pohon daun mangkok yang tersusun mengelilingi kediaman Haji Akob, terdengar suara letusan senjata api. Dorrr! Akob terhuyung, lalu roboh. Sebutir peluru bersarang di perutnya. Para perampok yang tahu Akob terkapar, langsung kabur.

Dalam kepanikan, Hj Atut berupaya menolong suaminya yang terlihat sangat kesakitan sambil terus memegangi perut yang terluka ditembus peluru. Di sisi lain, ia juga harus menolong anaknya yang tak henti merintih terkena tembakan di betis.

Dengan ketiadaan obat dan peralatan, Hj Atut memberi pertolongan sebisanya, sambil berdoa sampai fajar tiba.

Keesokan hari, pagi sekali, dengan sisa tenaga yang ada, ia membawa anak dan suaminya naik perahu agar mendapat pengobatan di Tanjungpinang. “Tanjungpinang dulu sudah lumayan maju (ada fasilitas kesehatan), makanya dibawa ke sana,” kata Abdullah.

Menurut Abdullah, dua hari sebelum peristiwa perampokan, Muhammad Nuh, sempat mengingatkan abangnya itu untuk waspada. M Nuh yang juga sering bolak-balik Berakit-Singapura-Malaysia, mendengar informasi akan ada aksi perampokan besar-besaran.

“Di kedai-kedai kopi di Singapura, perampok-perampok itu sudah banyak memperbicangkan rencana perampokan besar-besaran. Haji Muhammad Nuh mendengar sendiri, makanya dia mengingatkan Haji Akob,” ungkap lelaki 45 tahun ini.

Nasi sudah jadi bubur. Sang saudagar kopra tak tahu kapan hari sial, tak tahu pula kapan ajal menjemputnya. Pagi itu, ia menghembuskan napas terakhir, di atas perahu kayu yang akan membawanya berobat ke Tanjungpinang.

“Belum jauh berlayar dari Berakit, Haji Akob sudah meninggal di perjalanan,” kata Abdullah.

Rumah Tua Melayu Berakit

Selain tanah, Haji Akob mewariskan rumah yang masih terpelihara sampai saat ini. Lokasinya tak jauh dari Pos Angkatan Laut di Tanjungberakit, KM 65, Bintan. Untuk mencapai tempat itu, butuh waktu sekitar 1 jam berkendara dari Tanjungpinang melalui jalur Kawal arah Pantai Trikora.

Meski dari luar terlihat cukup baik, beberapa bagian bangunan berusia lebih 114 tahun itu, membutuhkan perbaikan lantaran mulai usang dimakan zaman. Rumah tersebut kini dihuni Rahimah, istri dari almarhum Abdul Jalil, serta dua anaknya, Ali Wardana dan Rudini. Abdul Jalil adalah abang dari Hasnawati, si ahli waris.

Beberapa barang peninggalan di Rumah Tua Melayu Berakit. (Foto: Ulasan.co)
Beberapa barang peninggalan di Rumah Tua Melayu Berakit. (Foto: Ulasan.co)

Menurut Abdullah, hasil rembuk orang tua mereka terdahulu memutuskan bahwa ahli waris rumah adalah anak perempuan. Alasannya, karena anak perempuan yang kelak mengurus orangtuanya di rumah tatkala sepuh.

Itulah mengapa, ahli waris Rumah Tua Melayu Berakit saat ini jatuh ke Hasnawati yang bermukim di Jakarta. Hasnawati mendapat warisan itu dari ibunya, Hj Kalsum, anak pertama Haji Akob-Hj Atut yang menikah dengan Haji Abdul Salam.

“Karena kedua orangtua sudah tidak ada, dan kebetulan Bu Hasnawati juga tinggalnya di Jakarta, jadi yang menempati sekarang Bu Rahimah, istri abangnya Bu Hasnawati,” kata Abdullah.

Sebelumnya, Ulasan.co sempat mengunjungi Rumah Tua Melayu Berakit, Rabu (19/10) siang, saat hujan deras mengguyur wilayah tersebut. Meski tak bertemu Rahimah, namun ada Ali Wardana, putra sulungnya di rumah itu.

“Umur Mamak sudah 65 tahun. Jadi sukanya jalan. Mungkin ada di kedai dekat pantai,” kata Ali sambil menunjuk tepian laut, tak jauh dari kediamannya.

Lelaki 40 tahun ini sempat menceritakan sedikit sejarah Rumah Tua Melayu Berakit. Namun ia tak melanjutkan karena takut salah. “Ke Pak Abdullah saja. Dia lebih paham,” ujarnya.

Meski begitu, Ali tak keberatan saat diminta izin masuk ke dalam rumah yang kini jadi cagar budaya itu. Bagian dalam rumah berukuran sekitar 7×15 meter tersebut terdiri atas empat bagian yang tak terpisahkan. Dimulai dari selasar atau teras, ruangan utama, rumah ibu (kamar orang tua), dan rumah anak (kamar untuk anak-anak). Setiap bagian ruangan berukuran kurang lebih 7×2,5 meter dengan bentuk melebar.

Ruangan-ruangan itu dipisahkan dinding papan dengan masing-masing bagian memiliki pintu ganda di tengahnya, yang jika dibuka mirip sebuah koridor.

Ali juga sempat menunjukkan beberapa benda peninggalan buyutnya yang masih tersisa di rumah warisan Haji Akob tersebut, seperti keris, tombak, hingga peralatan rumah tangga kuno yang terbuat dari tembaga. ***