LSM Batam Laporkan Gubernur Kepri ke KPK Terkait DJPL

LSM Kodat 86
Ketua LSM Kodat86 Ta'in Komari (Foto: istimewa)

JAKARTA – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kelompok Diskusi Anti 86 (Kodat86) Batam melaporkan Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) Ansar Ahmad ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (08/12). Laporan itu atas dugaan korupsi dana jaminan pengelolaan lingkungan (DJPL).

Ketua Kodat86 Cak Ta’in Komari mengaku memiliki bukti-bukti yang sangat kuat yang sudah diserahkan kepada KPK.

“Kami memiliki bukti yang sangat kuat dugaan korupsi dana DJPL yang dilakukan Ansar Ahmad saat menjabat Bupati Bintan,” kata Cak Ta’in dalam keterangan tertulisnya diterima, Kamis.

Menurut Cak Ta’in, ada banyak kejanggalan dalam pengelolaan dan realisasi DJPL pascatambang yang terjadi kurun tahun 2010-2016, saat Bintan dipimpin Ansar Ahmad. “Potensi kerugian negara nya sangat besar, ratusan miliar.” ujarnya.

Menurut Cak Ta’in, timnya memiliki formulasi cara menghitung DJPL yang sebenarnya. Angkanya jauh apa yang disampaikan dalam LHP BPK yang angkanya hanya Rp. 122.128.445.363,88 ditarik dua gelombang sejumlah Rp. 69.953.963,67-.

Atau hasil monitoring Tim Supervisi Gubernur Kepri yang menyebut angka Rp. 133.156.997.000,- dengan selisih belum dipertanggungjawabkan sebesar Rp. 168.050.000.000,-, dan sisa saldo rekening di BPR Bestari Bintan Rp. 17.000.000.000,- dan BPR Bintan Rp. 20.000.000.000,-

“Ada beberapa dokumen pendukung lain untuk melengkapi, terutama untuk memastikan bahwa angka DJPL itu sangat fantastis, menurut ketentuan Kepmen ESDM maupun Sk Bupati Bintan,” jelas Cak Ta’in.

Lebih lanjut Cak Ta’in menjelaskan, ada dokumen yang rananya bisa ditembus langsung oleh LSM, tapi ada yang rananya penyidik.

“Di sinilah perlunya peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi berkolaborasi dengan aparat penegak hukum,” tegasnya.

Ditambahkan Mantan Dosen Unrika Batam itu, penarikan dan kosongnya saldo DJPL itu ternyata tidak diikuti realitas reklamasi dan rehabilitasi lingkungan sebagaimana ketentuan yang ada.

“Semua bekas tambang masih dalam kondisi rusak, namun DJPLnya habis.” kilahnya.

“Banyak data yang tidak sinkron di lapangan sehingga memang perlu diselidiki lebih dalam. Apalagi dapat masuk proses hukum lebih lanjut,” tambah Cak Ta’in

Aktivitas tambang di Kabupaten Bintan periode 2010-2016 disebut dikuasai dan dikendalikan mafia tambang. Sentral kekuasaan dan kebijakan ada di tangan Bupati Bintan, yang saat itu dijabat Ansar Ahmad, yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Provinsi Kepri periode 2020-2024.

Baca juga: LSM Kodat86 Minta Penegak Hukum Usut Dugaan Gratifikasi dan Suap 3 Anggota DPRD Kepri

Pada hari yang sama, dua elemen masyarakat Kepri, yakni LSM Kelompok Diskusi Anti 86 (Kodat86) dan Syahrial Lubis yang menggunakan jasa pengacara Hambali Hutasuhut SH telah melaporkan dugaan korupsi atas aktivitas tambang di Bintan tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (8/12).

Sementara Hambali Hutasuhut berharap penyidik KPK dapat menindaklanjuti laporan kliennya secepatnya.

“Data yang kami sampaikan ke KPK cukup lengkap sebagai bukti permulaan memulai penyidikan. Kita garap proses hukum secepatnya dilakukan,” katanya.

Menurut Hambali, proses hukum itu langkah elegan untuk mengakhiri suatu fenomena kasus supaya tidak jadi gorengan politik menjelang pemilu dan pilkada.

” Keputusan hukum itu bisa mengakhiri spekulasi yang tak pasti. Mestinya semua pihak mensupport gerakan ini,” tegasnya.

Syahrial Lubis yang memberikan kuasa kepada Hambali menegaskan, pihaknya menghendakinya proses hukum terkait mafia tambang yang selama ini informasi simpang siur dan sengaja ditenggelamkan. “Saya tidak paham soal hukum, makanya saya kasih kuasa ke pengacara. Saya kasih data dan bukti-buktinya, dia yang mengatur semua,” jelas Lubis.

Terlepas kepentingan apapun yang dibawa para pelapor, dugaan tindak pidana korupsi dari DJPL maupun DKTM tambang di Bintan patut diproses hukum. Spekulasi bahwa para mafia tambang selalu kebal hukum harus dilawan dengan membawa kasusnya ke meja persidangan. (*)