Mengupas Kisah Pahlawan Bahasa, Raja Ali Haji

Makam Raja Ali Haji, Pahlawan Nasional Bidang Bahasa Indonesia, di Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau.
Makam Raja Ali Haji, Pahlawan Nasional Bidang Bahasa Indonesia, di Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau. (Foto: net/awalinfo.blogspot.com)

Hai Sahabat Ulasan, pada artikel ini kita akan mengupas kisah salah satu pahlawan nasional bidang Bahasa Indonesia.

Raja Ali Haji dilahirkan pada tahun 1809 di Pulau Penyengat, yang pada masa itu merupakan bagian dari daerah “Riau”. Meskipun demikian, ia memiliki keturunan Bugis.

Kakeknya, Raja Haji, adalah seorang pahlawan Melayu-Bugis terkemuka yang pernah menjabat sebagai Yamtuan Muda (atau Perdana Menteri ke-4) dalam Kesultanan Johor-Riau.

Raja Haji juga adalah tokoh yang mendorong kemajuan Kesultanan Johor Riau, menjadikannya pusat perdagangan dan kebudayaan. Bakat sastrawan diturunkan dari ayahnya, Raja Ahmad, salah satu dari putra Raja Haji.

Sejak kecil, Raja Ali Haji sering mengikuti ayahnya dalam berbagai perjalanan dagang dan bahkan pergi haji. Dengan pengalaman ini, Raja Ali Haji tumbuh menjadi seorang pemuda yang berwawasan luas.

Pendidikan dasarnya diperoleh Raja Ali Haji di lingkungan istana Kerajaan Riau di Pulau Penyengat sendiri. Ia mendapatkan pengajaran dari berbagai tokoh terkemuka yang datang dari berbagai daerah.

Pulau Penyengat Tempat Berkumpul Para Ulama

Pada masa itu, Pulau Penyengat menjadi tempat berkumpulnya ulama-ulama dari berbagai negeri, memeriahkan pusat kebudayaan Melayu dengan penekanan pada pengkajian ajaran Islam.

Anak-anak dari keluarga kerajaan memiliki kesempatan pertama untuk menikmati pendidikan ini, dan Raja Ali Haji memanfaatkannya sebaik mungkin.

Pada tahun 1821, ayah Raja Ali Haji, Raja Ahmad, berencana untuk menunaikan ibadah Haji sambil menuntut ilmu Fiqih dan Bahasa bersama Raja Ali kecil dan beberapa sanak saudaranya.

Kala itu, Raja Ali Haji berusia 13 tahun. Sebelum berangkat ke tanah Jawa, Raja Ahmad dan rombongannya terlebih dahulu berdagang di sana. Selama perjalanan ke tanah Jawa, Raja Ali Haji banyak bertemu dengan ulama untuk mendalami ilmu Islam, terutama ilmu fiqih.

Tidak hanya itu, Raja Ali Haji juga memperoleh banyak pengalaman dan pengetahuan dari interaksinya dengan sarjana-sarjana kebudayaan Belanda.

Setelah menuntut ilmu di tanah Arab, Raja Ali Haji kembali ke tanah Riau. Ia telah memperdalam ilmu fiqih dan bahasa Arab. Dari waktu ke waktu, Raja Ali tidak henti-hentinya mempelajari dan menulis buku.

Karya-karyanya seperti “Syair Abdul Muluk” (1847), “Gurindam Dua Belas” (1847), “Tuhfat Al-Nafis” (1865), dan lainnya, merupakan bukti nyata dari dedikasi Raja Ali Haji pada seni dan ilmu.

Raja Ali Haji meninggal sekitar tahun 1872-1873 di Pulau Penyengat. Ia dikenal luas sebagai Ulama, Sejarawan, Pujangga abad ke-19, dan Pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu melalui buku pedoman bahasa.

Dengan kecerdasannya, Raja Ali Haji telah menghasilkan beberapa karya monumental sebagai pengabdiannya pada bangsa dan negara. Karyanya terus menjadi sumber inspirasi bagi para cendikiawan untuk mengkajinya.***

“jika hendak mengenal
orang berbangsa
Lihat kepada budi
dan bahasa”

(Gurindam pasal 5)

Sumber : Buku Komik Raja Ali Haji

Ikuti Artikel Lainnya di Google News