Merawat Tradisi Sampan Layar di Perbatasan Negeri

Merawat Tradisi Sampan Layar di Perbatasan Negeri
Peserta sampan layar saat berlayar di perairan Belakang Padang, Batam, Kepri. (Foto: Muhamad Islahuddin)

Menaikkan Ekonomi Masyarakat

Kegiatan di Belakang Padang tak hanya untuk merawat tradisi 17 Agustus yang telah dilaksanakan setiap tahun di sana. Namun, juga sebagai peningkatan tambahan ekonomi masyarakat sekitar.

Di lokasi kegiatan, banyak warung kecil penjual makan. Banyak juga ditemukan yang menjual pakaian dan berbagai macamnya.

“Kami di sini sudah mengadakan kurang lebih lima hari kegiatan, berbagai macam [kegiatan] dan hari ini puncaknya. Perputaran ekonomi di sini sangat luar biasa. Mulai dari penambang, biasa satu atau dua trip sekarang bisa delapan. Warung-warung kecil juga dapat keuntungannya,” kata Camat Belakang Padang, Yudi Admajianto.

Kegiatan selama lima hari terakhir ini menurutnya menjadi nostalgia bagi masyarakat Melayu. “Kita hadirkan musik melayu, sampai mereka bilang, macam zaman dulu. Makanya tak heran Belakang Padang orang bilang sebagai Pulau Penawar Rindu,” kata dia.

Peresean Ramaikan Acara di Belakang Padang

Tidak hanya seni khas Melayu hadir dalam acara HUT ke-77 RI di Belakang Padang. Namun, kesenian tradisional khas suku Sasak, Lombok juga turut dihadirkan.

“Kita juga mau memperkenalkan kesenian khas daerah lain di sini. Biar saling mengenal, juga untuk merawat NKRI,” kata Yudi.

Peresean sendiri adalah kesenian melatih ketangkasan, ketangguhan dan keberanian para pemuda Suku Sasak di zaman dulu. Peresean terdiri dari Pepadu atau dua orang petarung. Keduanya dilengkapi dengan tongkat rotan, diberi nama Penjalin dan sebuah perisai dari kulit kerbau yang tebal dan keras, biasa orang Sasak menyebutnya Ende.

Pepade akan diawasi oleh Pakembar atau wasit. Dalam satu pertandingan, ada dua Pakembar yang mengawasi, satu untuk di luar area dan lainnya di tengah area. Pepadu sendiri tidak pernah dipersiapkan oleh panitia, melainkan dipilih secara acak dari kerumunan masyarakat yang menyaksikan acara ini. Masyarakat juga bisa mengajukan diri untuk maju.

Pepadu akan berhadapan sembari mengayunkan Penjalin ke arah lawan, layaknya sedang mencambuk. Ada bagian tubuh yang diperbolehkan menjadi sasaran cambuk, yakni kepala, pundak dan punggung. Namun, bagian bawah kaki (paha) tidak diperbolehkan. Pepadu lainnya boleh menangkis serangan menggunakan Ende dan membalas serangan dengan cara yang sama.

Aksi saling cambuk itu membuat suasana menjadi tegang bercampur seru. Ditambah lagi Peresean diiringi dengan musik tradisional pengiring yang terdiri dari gong, kendang, rincik, simbal, suling dan kanjar sehingga suasana menjadi meriah.

Pakembar akan menghentikan pertandingan, jika ada salah satu Pepadu yang terluka atau berdarah. Jika selama pertandingan belum ada yang terluka, maka Peresean akan terus dilanjutkan hingga ronde kelima, tergantung kesepakatan awal.

Pepadu dinyatakan menang oleh pakembar jika memiliki luka paling sedikit. Seuasai pertarungan yang sengit, bahkan melukai satu dengan lainnya, para pepadu harus saling memeluk dan memaafkan.

“Ini yang mau kita perlihatkan, meski saling melukai saat bertanding kita harus saling memaafkan,” kata Sanaan perwakilan sagar Sasak NTB.

Wisman Asal Malaysia Terhibur

Abdul Razak bin Ibrahim merasa terhibur dengan berbagai kegiatan yang diadakan di Belakang Padang. Menurut pria baruh baya itu, takada kegiatan semeriah ini di tempatnya.

“Kalau biasa kita hari kemerdekaan di sana, 31 Agustus, kita hanya baris-baris di Kuala Lumpur, ada pawai Polisi, Tentara,” kata Abdul Razak.

Ia berharap ke depan bisa berkunjung lagi ke Belakang Padang membawa keluarganya untuk menyaksikan berbagai kegaiatan yang diadakan di sana.

“Saya suka kegiatannya, nanti akan saya bawa keluarga lebih ramai lagi kalau umur panjang,” katanya. (*)