BATAM – Rencana pembangunan industri kaca di wilayah Puau Rempang, Batam, Kepulauan Riau menimbulkan kekhawatiran bagi nelayan di wilayah itu.
Mereka khawatir, hasil tangkapan akan berkurang akibat dampak lingkungan yang disebabkan industri tersebut.
“Kami terletak di zona I. Tentu ini berdampak bagi kami. Lingkungan rusak, pencemaran air otomatis sudah mematikan ribuan orang yang cari makan di sana,” kata Dorman (43) salah seorang nelayan, Sabtu (30/09).
Menurut Dorman, wilayah Mubut dan Karas merupakan salah satu penyumbang rajungan dan udang terbesar di Batam. Pasokan di Batam tergantung dari hasil tangkap nelayan di wilayah itu.
“Saya pengumpul hasil nelayan di Mubut, menaungi seratus lebih kepala keluarga. Ketika ini dijadikan zona I, tentu akan ada dampak lingkungannya,” tambah Dorman.
Ia meminta pemerintah harus mengkaji dengan benar, dampak lingkungan dari rencana pembangunan pabrik kaca di kawasan itu. Sebab jika tidak benar-benar diperhatikan, bakal berdampak pada hasil tangkapan nelayan.
“Bukan hanya akan mematikan yang di darat. Kami yang di Mubut dan Karas ikut mati,” kata dia saat menghadiri acara Konsultasi Publik Penyusuna Amdal Kawasan Rempang Eco-City di kantor Camat Galang.
Berdasarkan informasi yang diterimanya, di perairan tersebut akan dibangun pelabuhan. Menurutnya, pembangunan ini nantinya akan sangat berdampak terhadap hasil tangkapan nelayan sekitar.
Menurut Dorman, di kawasan perairan Pulau Mubut dan sekitarnya merupakan habitat penyu hijau dan penyu sisik.
Baca juga: Laman SiAPIK Disbud Kepri Diretas, Muncul #SaveRempang
Wilayah perairan mereka masuk dalam wilayah konservasi, sehingga mereka dituntut menjaga perairannya dan melindungi habitat-habitat yang ada.
“Kalau buat pelabuhan, tentu akan ada pengerukan. Kami merasakan lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya, merusak ekonomi. Tolong dikaji betul-betul dampak lingkungannya. Ketika ini akan merusak lingkungan, kelangsungan hidup akan sirna,” kata dia.
Salah satu anggota Tim Penyusunan Amdal Kawasan Rempang Eco-City, Wahyudin mengatakan, dalam kegiatan konstruksi maupun operasional akan memberikan dampak negatif maupun positif.
“Salah satu (negatif) kalau di pesisir, yaitu hilangnya atau gagguan biota perairan, penurunan pendapatan nelayan, ke dalaman dan lain sebagainya,” kata Wahyudin.
Menurutnya, nelayan tentu akan mengalami keresahan karena nantinya akan mengganggu aktivitas nelayan di kawasan tersebut.
“Nelayan akan berdampak potensial, pendapatan menurun,” ujar Wahyudin.
Namun, ia meminta nelayan tak khawatir. Sebab wdi kawasan tersebut memili area tangkap yang sangat luas.
“Jangan khawatir ini tak bisa melaut lagi. Pembangunan Itu pasti akan berdampak. Kami akan mengkaji bagaimana meminimalisir dampak tersebut, dan langkah strategis apa untuk menggantikan kerusakan,” jelas dia.
Kepala Pusat Perencanaan Program Strategis Badan Pengusahaan (BP) Batam, Fesly Paranoan mengatakan, pihaknya memiliki kewajiban menyusun Amdal, untuk pelepasa kawasan hutan guna pengembangan Rempang Eco-City.
“Kita akan merekap usulan masyarakat. Kita akan membentuk tim kelayakan. Tim kelayakan menyaring lagi, melakukan kajian internal,” katanya lagi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Boy Even Sembiring mengatakan, sejak rencana proyek ini berdiri, pemerintah tak pernah membahas terkait amdal-nya.
Baca juga: Tanjung Banun Dipilih Jadi Tempat Relokasi, Warga Rempang Tetap Menolak
Pemerintah lebih cenderung membahas terkait ganti rugi dan keuntungan, seperti pembukaan lapangan pekerjaan jika proyek ini berdiri.
“Penyusunan amdal harusnya melalui proses komunikasi, dan konsultasi kepada masyarakat terdampak untuk mendengarkan pendapat dan tanggapan terkait rencana proyek. Bahkan masyarakat Rempang, sampai saat ini belum pernah melihat dokumen amdal yang akan menggusur tempat tinggal, dan pranata sosial masyarakat Rempang,” kata Boy.
Saat mengunjungi Pasir Panjang, Kamis (21/09) lalu, Kepala BP Batam, Muhammad Rudi bukan datang untuk konsultasi, tapi justru terus mendesak masyarakat untuk mendaftarkan diri direlokasi.Hal ini kemudian direspon dengan penolakan oleh warga.
Masyarakat mendesak pemerintah meninjau dan mengkaji kembali,, rencana proyek investasi Rempang Eco-City terutama dari aspek hak asasi manusia, sosial, lingkungan hidup berkelanjutan.
“Tidak peduli dengan 16 kampung tua, Bahlil hanya khawatir dengan investasi Tiongkok di Rempang. Jangan pernah memposisikan, sejarah dan peradaban lahirnya Indonesia lebih berharga dibanding investasi,” ungkapnya.
Puspa Dewy, Kepala Divisi Kampanye Walhi Nasional juga menilai pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh para pejabat negara terhadap Pulau Rempang, bukannya menyelesaikan masalah justru menambah keresahan di masyarakat.
“Bahkan pernyataan terakhir Menteri Investasi terhadap keterlibatan Walhi di kasus Rempang semakin menunjukkan ketakutan pemerintah, pada banyaknya informasi yang disembunyikan kepada masyarakat terhadap rencana pembangunan ini,” kata Dewy.
Hingga hari ini, warga tidak pernah diberikan informasi terkait dampak-dampak kerusakan lingkungan yang akan terjadi akibat rencana pembangunan ini.
Pemerintah, seperti biasa hanya menyampaikan iming-iming lapangan pekerjaan, tapi tidak jujur menyampaikan berapa banyak mata pencaharian, sejarah, dan hal lain yang akan dihancurkan.