Pelaku Korupsi Masih Didominasi Anggota DPR dan DPRD Serta Swasta

Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron. (Foto:Dok/KPK RI)

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan, mayoritas pelaku korupsi di Indonesia masih didominasi anggota DPR dan DPRD serta pihak swasta.

Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron memaparkan, hingga Triwulan I Tahun 2023 pelaku korupsi oleh pihak swasta tercatat yaitu 383 orang. Kemudian anggota DPR dan DPRD sebanyak 344 orang.

Kemudian, lanjut Nurul Ghufron, sedangkan perkara korupsinya masih didominasi kasus suap dan gratifikasi sebesar 66 persen.

Ghufron juga memaparkan tujuh jenis tindak pidana korupsi sesuai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, dihadapan peserta hadapan peserta PPSA XXIV Lemhannas.

Tujuh tindak pidana korupsi itu, kerugian keuangan negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, konflik kepentingan dalam pengadaan, serta gratifikasi.

Dia juga menyinggung terkait penyalahgunaan jabatan atau penggelapan dalam jabatan.

“Pertama adalah menyalahgunakan uang termasuk hak dan kewajiban dari keuangan misalnya aset negara, fasilitas dan lainnya. Kedua, menyalahgunakan wewenang atau kekuasaan yang diberikan negara kepada aparatur untuk kepentingan publik, namun digunakan untuk kepentingan pribadi, seperti memperoleh keuntungan pribadi dengan menumpang kepentingan publik lewat mark up,” kata Ghufron di Jakarta, Rabu (30/08/2023) seperti dikutip dari tvonenews.

Ghufron juga menegaskan, korupsi telah menjadi ancaman dan tantangan ketahanan nasional karena telah terjadi di berbagai sektor.

“Korupsi saat ini sudah menjadi musuh dalam selimut, masif di semua sektor dan terjadi dari pusat hingga daerah. Korupsi juga jadi faktor pemecah negara modern, dilakukan oleh multi-aktor yaitu terdiri dari berbagai suku dan agama. Terakhir, korupsi telah menjadi bahaya laten. Sehingga jadi ancaman dan tantangan ketahanan nasional,” kata Ghufron.

Ghufron menerangkan, sikap permisif masyarakat terhadap korupsi menjadi salah satu penyumbang tingginya tindak pidana korupsi masih terjadi di Indonesia.

Merujuk hasil Survei Perilaku Antikorupsi oleh Badan Pusat Statistik (BPS), yang menyebut bahwa masyarakat Indonesia paham jika korupsi melanggar agama, norma, dan hukum.

Namun, dalam praktiknya masyarakat masih berperilaku apatif dan permisif terhadap perilaku korupsi.

“Masyarakat kita tahu bahwa korupsi itu dilarang agama dan melanggar hukum. Namun, dalam pengamalannya, masih tetap dilakukan bahkan pada level tertentu dianggap wajar. Mengurus sesuatu di pemerintah wajar saja dengan memberi tip dan lainnya. Makanya, tidak heran hingga saat ini kasus suap dan gratifikasi masih mendominasi, berdasarkan jenis tindak korupsi yang ditangani KPK, dan pihak swasta masih jadi pihak yang paling banyak menjadi pelaku tindak pidana korupsi,” jelas Ghufron.

Di akhir paparannya, Ghufron mengingatkan peserta PPSA XXIV Lemhannas, bahwa tujuan negara tidak akan pernah terwujud sepanjang korupsi masih ada di Indonesia.

Menurut dia, pemberantasan korupsi harus terus dilakukan karena tujuan negara bisa gagal akibat korupsi.

“Saat kita menyadari diri kita sebagai aparatur negara, maka kita harus memiliki jiwa melindungi. Melindungi tujuan dan cita-cita bangsa dan negara kita. Di depan saya, para peserta eselon I dan bahkan para jenderal. Sehingga saya yakin telah menempatkan diri, sebagai bagian dari perekat bangsa,” ujar Ghufron.