JAKARTA – Penerapan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) jadi 12 persen tahun 2025, hingga saat ini masih menunggu keputusan Presiden RI, Prabowo Subianto.
Sementara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, sudah memastikan bahwa jika ditunda tidak perlu adanya perubahan undang-undang.
“Undang-undang pajaknya enggak perlu dirubah. Karena di undang-undang itu sudah memberikan amanat ke pemerintah,” kata Wakil Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dolfie Othniel Frederic Palit, Jumat 22 November 2024.
Selain itu, kebijakan kenaikan PPN tertera pada pasal 7 Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Sebelumnya, Komisi XI DPR RI pada rapat pembahasan RAPBN 2025 sudah mempertanyakan rencana implementasi PPN 12 persen kepada Menteri Keuangan (Menkeu) RI, Sri Mulyani Indrawati.
Sri Mulyani kala itu berpandangan, terkait keputusan kenaikan PPN harus menunggu pelantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden RI.
Berganti pemerintah, menurut Dolfie, belum ada tanda-tanda perubahan aturan. Sementara tambahan penerimaan dari kenaikan PPN sudah masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Karena kalau itu diturunkan menjadi 11 persen aja misalnya, maka pemerintah kehilangan pendapatan Rp50 triliunan kira-kira,” jelas Dolfie mengutip cnbcIndonesia.
Fauzi Amro, Wakil Ketua Komisi XI tidak menutup mata atas protes publik mengenai pemberlakuan PPN 12 persen pada 2025 mendatang.
Apabila tetap diberlakukan pada 2025, maka diharapkan sektor yang berhubungan publik tetap tidak dikenakan.
“Cuma catatannya yang berhubungan dengan publik nggak boleh dinaikan. Tadi saya sampaikan apa itu kesehatan, pendidikan, sembako transportasi. Ini berhubungan dengan publik langsung dan masyarakat langsung,” ungkap Fauzi.
Berdasarkan kajian LPEM FEB UI dalam Seri Analisis Makro Ekonomi Indonesia Economic Outlook 2025 disebutkan bahwa PPN dapat berisiko memperburuk tekanan inflasi.
“Tarif PPN yang lebih tinggi biasanya mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa secara langsung, sehingga meningkatkan biaya hidup secara keseluruhan. Efek ini dapat menjadi tantangan bagi rumah tangga berpenghasilan rendah, yang mungkin mengalami penurunan daya beli, sehingga mengarah pada penurunan pengeluaran dan konsumsi konsumen secara keseluruhan,” kata Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky.
Dalam kajian LPEM FEB UI, Teuku menyebutkan beban saat tarif PPN masih sebesar 10% pada periode 2020-2021, rumah tangga kaya atau 20 persen terkaya menanggung 5,10 persen dari pengeluaran, sementara rumah tangga miskin atau 20% masyarakat termiskin menanggung 4,15% dari pengeluarannya.
Setelah kenaikan tarif PPN 11 persen di 2022-2023, rumah tangga kaya memikul 5,64 persen dari pengeluaran untuk PPN. Sedangkan rumah tangga miskin hanya 4,79 persen dari pengeluarannya.