Secara sosial, sisa momentum Pemilu 2019 yang melahirkan kubu sosial ‘cebong-kampret’ masih menyisakan keterbelahan masyarakat.
Agitasi dan provokasi dalam bentuk disinformasi, dan hoaks masih bertebaran di media sosial.
Ditambah lagi, ulah kelompok-kelompok ekstrim yang menunggangi situasi ini untuk mengambil keuntungan berupa pembangunan opini publik.
Di tengah ancaman serangan siber yang semakin intensif ini, Tentara Nasional Indonesia (TNI) perlu mendefinisikan ruang siber sebagai domain peperangan baru dalam pertahanan.
Tidak hanya sebagai wawasan, tetapi diturunkan dalam kebijakan dan program pengembangan teknologi alutsista, doktrin dan organisasi TNI.
Baca Juga : Psikolog: Batasi Anak Memegang Gawai Cegah Perudungan Siber
Kesadaran ruang siber sebagai domain peperangan ini telah menjadi perbincangan internasional.
Pada 2011, seorang pejabat militer Amerika Serikat, dengan tegas mengatakan, “Jika Anda mematikan jaringan listrik kami, mungkin kami akan meletakkan rudal di salah satu cerobong asap Anda.” Serangan siber terhadap negara Paman Sam itu memang tidak main-main dan semakin brutal dari tahun ke tahun.
Pada 2021 serangan ‘ransomware’ menyerang lebih dari 200 bisnis, yang memiliki rantai pasok fasilitas pelayanan publik.
Pada 2011, AS menerbitkan ‘International Strategy for Cyberspace’ yang mencanangkan hak untuk menggunakan kekuatan militer terhadap serangan dunia maya.
AS menyatakan, bahwa serangan siber adalah tindakan perang.
Komite Independen Kementerian Pertahanan AS menyamakan serangan siber sama halnya dengan ancaman serangan nuklir.
Alhasil, program nuklir Iran terhenti gegara malware ‘Stuxnet’.