Meski AS tidak mengkonfirmasi secara langsung, tapi sejumlah media mengungkap ada indikasi keterlibatan AS dalam pengoperasian ‘Stuxnet’.
United State Cyber Command (USCC) telah berhasil menanamkan malware, ke dalam sistem jaringan listrik Rusia pada 2019. Meski, pada akhirnya serangan tersebut dapat ditangkal.
Pada 2017, Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) telah mengkonfirmasi bahwa mereka menetapkan dunia maya sebagai domain militer yang sah, di mana serangan secara online (daring) terhadap negara anggota NATO dapat dianggap sebagai serangan terhadap 29 negara anggota NATO.
Domain siber sejajar dengan domain darat, laut dan udara.
NATO menyadari bahwa domain siber adalah elemen yang semakin vital dari operasi militer modern.
Dengan demikian, militer negara-negara maju telah secara tegas mendefinisikan domain siber adalah domain peperangan baru.
Baca Juga : Psikolog: Batasi Anak Memegang Gawai Cegah Perudungan Siber
Pada level tertentu militer dapat turun tangan.
Tentu keterlibatan militer juga dalam bentuk intervensi di dunia siber dengan cara pencegahan, penyerangan, dan antisipasi.
Indonesia, sebagai negara yang internet dan pengguna internetnya terus bertumbuh, diperlukan keterlibatan militer di dunia siber dalam rangka mempertahankan keutuhan dan keselamatan bangsa dan negara.
Dalam konteks kesinambungan Revolution in Military Affairs (RMA) yang telah menjadi paradigma reformasi TNI, maka yang perlu dilakukan oleh TNI adalah menyusun strategi pertahanan di dunia siber yang meliputi tiga aspek.
Pertama, pengembangan teknologi informasi dan persenjataan yang mampu menginterferensi aktor serangan siber, baik aktor negara maupun non-negara.
Serangan siber tujuan utamanya adalah mengancam nilai-nilai demokrasi, melumpuhkan sektor-sektor fundamental, dan menciptakan ketidakstabilan dalam tatanan kehidupan bernegara.