Petani Menjerit, Minta Jokowi Kaji Ulang Kebijakan Sawit di Indonesia

Foto : Antara

JAKARTA – Petani sawit kembali menjerit meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan kaji ulang atas kebijakan terkait minyak sawit di dalam negeri. Pasalnya, kebijakan tersebut dinilai menekan petani sawit.

Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat ME Manurung mengatakan, harga tandan buah segar (TBS) petani sawit swadaya per Kamis (23/6) adalah Rp1.150 per kilogram (Kg) dan petani bermitra Rp2.010 per kg.

“Harga ini 50-70 persen di bawah harga normal jika berdasarkan harga CPO Internasional (US$1.450/ton). Pemerintah harus gerak cepat untuk mendongkrak harga TBS petani dengan cara mencabut peraturan yang menekan harga TBS petani,” kata Gulat dikutip dari CNBCIndonesia.com, Jumat, (24/6).

Baca juga: Anggota DPR Sebut Audit Transparan Perusahaan Sawit Bisa Turunkan Harga Minyak Goreng

Kebijakan tersebut, kata dia, pengenaan bea keluar (BK), pungutan ekspor (PE) BPDPKS, DMO dan DPO, serta flush out.

Seperti diketahui, pemerintah telah menerbitkan ketentuan besaran tarif BK dan PE BPDPKS untuk setiap ton ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) dan turunannya. Yang disesuaikan dengan pilihan produsen/eksportir, yaitu memenuhi wajib pasok kebutuhan dan harga domestik (domestic market obligation/ DMO dan domestic price obligation/ DPO) atau mengikuti program percepatan ekspor ‘flush out’ tanpa DMO dan DPO.

Menurut Gulat, besaran pajak-pajak ekspor itu kemudian menjadi dibebankan kepada petani. Akibatnya, meski harga CPO Rotterdam pada 22 Juni 2022 mencapai US$1.450 per ton, petani hanya bisa menikmati harga TBS Rp1.200-1.400 per kg.

“Bahkan saat ini ada yang hanya dihargai Rp600 per kg,” ungkapnya.

Baca juga: Kala Harga Minyak Goreng Melambung di Negara Penghasil Sawit Terbesar Dunia

Jika BK saat ini US$288 per ton (untuk harga CPO maksimal) menjadi US$200 per ton dan PE BPDPKS dipangkas jadi hanya US$100 per ton, petani bisa menikmati harga TBS Rp3.400 per kg. Dengan asumsi rendemen TBS adalah 21 persen.

“Beban yang harus kami gendong luar biasa,” katanya.

Di sisi lain, dia mengakui, pabrik kelapa sawit (PKS) saat ini pun tengah terdesak dan serba salah. Karena harus membeli TBS petani, sementara industri pengolahan (refinery) lambat menyerap CPO PKS.

“Jadi, anjloknya harga TBS petani ini karena beban dari CPO tadi dan lambatnya ekspor. Kalau ada menteri bilang harga TBS turun karena CPO memang lagi turun, itu salah,” kata Gulat.

Saat ini, dia menambahkan, sekitar 17 juta petani dan pekerja di sektor sawit harus menghadapi kondisi akibat kebijakan tersebut. Dan meminta Presiden Jokowi mencabut kebijakan DMO dan DPO, juga flush out.

“Hasil rapat APKASINDO (21/6) diketahui dari 1.118 unit pabrik sawit diperkirakan 58 pabrik tutup total beroperasi, sedangkan 114 unit pabrik sawit buka tutup. Apakah ini juga karena harga CPO global lagi turun?,” tukas Gulat.

Gulat meminta, kebijakan terkait minyak goreng, pemerintah kembali ke mekanisme subsidi.