Washington – Presiden Turki Tayyip Erdogan akan membeli lebih banyak sistem pertahanan rudal S-400 dari Rusia.
Washington mengatakan S-400 menimbulkan ancaman bagi jet tempur F-35 dan sistem pertahanan NATO yang lebih luas.
Turki mengatakan tidak dapat memperoleh sistem pertahanan udara dari sekutu NATO mana pun dengan persyaratan yang memuaskan.
“Di masa depan, tidak ada yang bisa ikut campur dalam sistem pertahanan seperti apa yang kami peroleh, dari negara mana dan pada tingkat apa,” kata Erdogan, Minggu (26/09).
“Tidak ada yang bisa mengganggu itu. Kami adalah satu-satunya yang membuat keputusan seperti itu.”
Amerika Serikat memberlakukan sanksi terhadap pimpinan Direktorat Industri Pertahanan Turki, Ismail Demir, dan tiga karyawan lainnya pada Desember setelah Turki memperoleh kiriman gelombang pertama S-400.
Pembicaraan berlanjut antara Rusia dan Turki tentang pengiriman gelombang kedua, yang berulang kali dikatakan Washington hampir pasti akan memicu sanksi baru.
“Kami mendesak Turki di setiap level pertemuan untuk tidak mempertahankan sistem S-400 dan menahan diri dari membeli peralatan militer tambahan Rusia,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri AS ketika ditanya mengenai Erdogan.
“Kami terus menjelaskan kepada Turki bahwa setiap pembelian senjata baru Rusia yang signifikan akan dikenai sanksi di bawah Undang-Undang Melawan Musuh Amerika Melalui Sanksi (CAATSA),” tambah juru bicara itu.
BACA JUGA: Korsel Uji Rudal Balistik Kapal Selam Pertama
Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS menganggap Turki sebagai sekutu dan teman dan mencari cara untuk memperkuat kemitraan mereka “bahkan ketika kami tidak setuju.”
Erdogan akan bertemu dengan Presiden Vladimir Putin di Rusia pada Rabu untuk membahas berbagai isu termasuk kekerasan di barat laut Suriah.
Erdogan juga mengatakan bahwa Presiden AS Joe Biden tidak pernah mengangkat masalah rekam jejak hak asasi manusia Turki.
Ditanya apakah Biden mengangkat masalah itu selama pertemuan di sela-sela KTT NATO di Brussels, Erdogan mengatakan: “Tidak. Kami tidak memiliki masalah seperti itu dalam hal kebebasan,”
Berdasarkan data dari Komite untuk Melindungi Jurnalis (CPJ), Turki merupakan salah satu negara yang memenjarakan jurnalis paling banyak. (*)
Pewarta: Antara
Redaktur: Muhammad Bunga Ashab