Putin Disebut akan Caplok Wilayah Eropa Ini, Setelah Perang Ukraina

Prajurit Rusia berjaga-jaga di wilayah Pabrik Besi dan Baja Ilyich di kota pelabuhan Mariupol, Ukraina. (Foto:newsweek)

JAKARTA – Rusia dilaporkan bakal mencaplok sebuah wilayah di Eropa setelah perang Ukraina yang sudah berlangsung selama 2 tahun ini.

Moskow berperang dengan Ukraina, untuk menguasai tiga wilayah penting yaitu Donetsk, Luhansk, serta Krimea.

Wilayah yang disebut-sebut akan dicaplok itu adalah Transnistria. Transnistria memisahkan diri dari Moldova dan menyatakan diri sebagai republik merdeka pada awal 1990-an.

Sebagian besar penduduk Transnistria sehari-hari berbahasa Rusia, dan memilih langkah memisahkan diri dari Moldova karena tidak ingin tetap menjadi minoritas di negara itu.

Saat ini terdapat sekitar 1.100 tentara Rusia di Transnistria, yang bertugas sebagai penjaga perdamaian, memantau gencatan senjata tahun 1992 antara Moldova dan pasukan lokal.

Diperkirakan setengah dari 500.000 jiwa penduduk Transnistria, kini memiliki kewarganegaraan Rusia.

Tokoh oposisi Transnistria, Ghenadie Ciorba, baru-baru ini dilaporkan menyarankan agar kelompok separatis menyerukan referendum mengenai aneksasi wilayah tersebut ke Rusia. Meski begitu, wacana ini tidak digembor-gemborkan ke publik secara luas.

“Namun kongres deputi dari semua tingkatan di ibu kota wilayah separatis tersebut mengeluarkan resolusi yang meminta dukungan Moskow dalam mencegah krisis ekonomi, yang mereka tuduhkan pada Moldova,” kata resolusi Ciorba itu dikutip Al Jazeera.

“Ada tekanan sosial dan ekonomi terhadap Transnistria, yang bertentangan dengan prinsip dan pendekatan Eropa terhadap perlindungan hak asasi manusia dan perdagangan bebas,” sambungnya.

Wacana tersebut menimbulkan kekhawatiran berbagai kalangan di Moldova khawatir, mengingat Rusia yang telah menyerang Ukraina untuk merebut wilayah Luhansk dan Donetsk.

Peta negara Moldova. (Foto:Dok/Shutterstock)

Bahkan kekhawatiran itu muncul setelah banyak yang menanyakan, apakah masih aman untuk tinggal di negara itu setelah wacana merebut Transnistria bergulir.

“Saya tidak bisa memberi tahu Anda berapa banyak panggilan telepon yang saya terima dalam dua hari terakhir baik dari pers maupun hanya kenalan,” kata Alexander Flenchea, penggagas Initiative 4 Peace Association.

Meningkatnya eskalasi geopolitik di Transnistria ini membuat wilayah itu benar-benar terkepung secara politik.

Pasalnya, Ukraina yang menjadi tetangga dari wilayah itu memutuskan untuk menutup perbatasannya tatkala Moskow mengirimkan pasukannya ke wilayah Timur, sementara Moldova terus memberikan tekanan kepada Transnistria.

“Tiraspol Ibukota Transnistria mendapati dirinya terjepit di antara Chisinau dan Kyiv,” kata Anatoli Dirun, kepala Sekolah Studi Publik Tiraspol.

Di sisi lain, Moldova telah mengenakan pajak atas barang-barang yang diimpor ke wilayah separatis, yang menyebabkan harga bahan pokok menjadi mahal.

Menurut Dirun, hal ini juga pada akhirnya memaksa Tiraspol untuk mengambil pendekatan yang lebih halus dengan Chisinau.

“Perang Ukraina telah mengguncang perekonomian Transnistria, tetapi juga memaksa kepemimpinan Transnistria untuk mengambil sikap yang lebih terkendali, dan tidak menunjukkan pandangan pro-Rusia,” tambahnya.