BATAM – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Batam, NGO Akar Bhumi Indonesia, Mongabay Indonesia, dan Batam Bergerak sukses menggelar diskusi terkait situasi lingkungan di Batam, Sabtu malam 24 Februari 2024.
Dalam diskusi itu mengusung tema, “Catatan Kelam Kerusakan Lingkungan di Batam” berlangsung sederhana di halaman sekretariat AJI Batam. Peserta yang hadir juga beragam, mulai dari mahasiswa, aktivis, nelayan dan perwakilan pemerintahan.
Diskusi dimulai dengan menonton film dokumenter berjudul “Pesisir yang Terusir”, yang merupakan karya jurnalis lingkungan di Kota Batam.
“Kita juga minta peserta diskusi membawa botol minum sendiri, karena panitia tidak sediakan minuman kemasan, demi mengurangi penggunaan plastik sekali pakai,” kata Yogi Saputra, Panitia Pelaksana Diskusi.
Sekretaris AJI Batam, Fathur Rohim mengucapkan terima kasih kepada semua yang terlibat dalam persiapan acara diskusi dan berharap acara semacam ini dapat diadakan secara rutin.
“Kami dari AJI Batam sangat mendukung kegiatan seperti ini. Semoga ini diskusi semacam ini terus berlanjut,” kata dia.
Peserta kemudian mendengarkan paparan dari empat narasumber, yaitu Jurnalis Harian Kompas Pandu Wiyoga, Dinas Lingkungan Hidup Batam IP, Pendiri NGO Akar Bhumi Hendrik Hermawan, dan Pangkalan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Batam Anam.
Pandu Wiyoga memaparkan persentasi seputar kerusakan lingkungan dan dampak bencana alam di Batam. Ia mengatakan, memang secara keseluruhan bencana Batam terkenal masih skala kecil, tetapi tidak tertutup kemungkinan itu menjadi bom waktu jika kurang mitigasi dalam menangani apa yang terjadi.
“Saya pernah menulis tulisan di Kompas, ‘Bom Waktu Bencana Alam di Pulau-pulau Kecil’. Hal ini menunjukan bencana longsor yang terjadi di Serasan Natuna secara tiba-tiba, yang menewaskan 55 orang, bencana ini tidak ada yang memprediksi,” kata Pandu.
Menurutnya, di tengah meningkatnya perubahan iklim global saat ini, nelayan di pulau-pulau kecil sangat merasakan dampaknya.
“Seperti berita-berita yang kami tampilkan ini, yang menjadi korban tetap nelayan, kami pernah menulis soal nelayan Suku Laut Air Mas Batam, mereka terpaksa memulung karena tidak bisa melaut akibat cuaca ekstrim,” kata Pandu.
Menurut Pandu, seharusnya saat ini semua kalangan harus melek soal isu lingkungan. Bersama memperhatikan persoalan yang masih dianggap baru.
“Ketidakpedulian kita terhadap lingkungan adalah bentuk warisan dari orang-orang sebelum kita, sehingga dari sekarang ini kita harus memperbaiki itu, salah satunya ikut berpartisipasi dalam diskusi-diskusi seperti ini,” kata Pandu.
Kabid Penindakan DLH Batam, IP menjelaskan tentang faktor-faktor kerusakan lingkungan di Batam, termasuk masalah reklamasi yang mengancam ekosistem pesisir.
“Seperti yang ada di dalam dokumenter yang kita tonton, mangrove sekarang degradasinya memang sedang masif terjadi di Batam, mangrove yang masih banyak hanya tersisa di Pulau Rempang,” katanya.
IP juga mengatakan, banyak laporan soal kerusakan pesisir yang diterimanya, tetapi ia menegaskan laut bukanlah kewenangan DLH Kota Batam.
“Jadi kalau dirasakan, air nya sudah asin, itu bukan kewenangan kami lagi,” kata IP menganalogikan pesisir laut bukan kewenangan DLH Batam.
PSDKP Batam, Anam, menekankan pentingnya pemahaman terhadap aturan-aturan lingkungan, seperti dalam kasus reklamasi. Tidak semua reklamasi yang ada di pesisir pantai merupakan kewenangan PSDKP.
“Tetapi yang harus dipahami, yang disebut reklamasi itu ketika timbunan tanah masuk ke garis pantai,” katanya.
Founder Akar Bhumi, Hendrik Hermawan menegaskan, pihaknya akan selalu digaris terdepan dalam melakukan advokasi kerusakan lingkungan.
Bahkan Akar Bhumi tidak hanya advokasi tetapi juga edukasi, dan rehabilitasi. “Satu yang perlu di ingat, membiarkan kerusakan lingkungan terjadi, adalah bentuk kejahatan lingkungan lainnya,” kata Hendrik.
Dalam sesi diskusi para tamu undangan juga antusias memberikan tanggapan dan pertanyaan. Seperti yang disampaikan Pokmaswas DKP Provinsi, Sapet dan Garry. Kedua Pokmaswas ini fokus merawat pesisir mereka.
Namun saat ini kata mereka, tidak hanya kerusakan pesisir laut mengancam nelayan. Tetapi pesisir kampung nelayan juga terancam diambil oleh perusahaan-perusahaan besar. “Ini yang kami renungkan setiap hari, laut kami sudah hancur, sekarang kampung kami juga akan diambil,” kata Sapet.
Sapet merupakan Pokmaswas yang mengawasi kawasan pesisir Pulau Buluh dan sekitarnya. Sedangkan Garry menjaga pesisir di kawasan Nongsa.
Raihan dari Pers Mahasiswa Kampus Ibnu Sina menyambut baik diskusi tersebut. Ia mendapatkan pandangan dari mengikuti diskusi, bahwa mahasiswa tidak mesti bergerak aksi setelah merasakan keresehan yang ada.
“Tetapi harus kritis kala keresehan itu sudah dirasakan oleh orang lain,” katanya. (*)
Ikuti Berita Ulasan.co di Google News