Hukum  

Aktivis HAM dan Hukum Kepri Dugaan ‘Skandal’ Foto Mirip Rahma Harus Diungkap Tuntas

Aktivis HAM dan Hukum Kepri Suherman (Foto: Istimewa)

Tanjungpinang – Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hukum Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) menilai, kasus dugaan ‘skandal’ foto mirip Wali Kota Tanjungpinang Rahma belum tuntas.

Aktivis HAM dan Hukum Kepri Suherman menjelaskan, secara konsep ilmu kepemimpinan menyatakan, seorang pemimpin di daerah sepatutnya dalam setiap tindak tanduk dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari harus mencerminkan bahwa ia seorang pemimpin di daerah yang menjadi panutan dan pemberi contoh yang baik bagi masyarakat yang dipimpin.

Menurutnya, kekuasaan yang tidak diiringi oleh etika yang baik oleh seorang pemimpin, maka dapat menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat.

“Kekuasaan yang dimiliki oleh seorang pemimpin tidak diiringi dengan good morality sejatinya dapat menimbulkan kegaduhan di masyarakat,” kata Suherman via seluler, Rabu (11/08).

Baginya moralitas sangat penting dalam menjalankan kepemimpinan apabila moral pemimpin baik maka kekuasaannya akan menyejahterakan, namun jika moral pemimpinya buruk maka kekuasaanya dapat menyengsarakan.

Suherman menganggap, bergulirnya dugaan skandal foto mirip Wali Kota Tanjungpinang ke publik sejatinya merongrong marwah dari Pemerintahan Kota Tanjungpinang. Terlebih lagi, Pemerintah Kota Tanjungpinang hingga kini belum melaporkan kasus a quo kepada aparat penegak hukum secara resmi dan kebenaran sesungguhnya hingga kini belum terungkap.

“Terlebih lagi ada pihak yang menyebutkan bahwa penyebar foto adalah inisial L dan sampai sekarang inisial L tersebut tidak pernah dilaporkan ke penegak hukum dan tentunya membuat kegaduhan di tengah masyarakat,” tuturnya lagi.

Suherman menganggap, kendati belum ada laporan pihak kepolisian, sebaiknya melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

“Mengingat ujung tombak dalam penanggulangan kejahatan di masyarakat adalah Polri, maka sejatinya penegak hukum seperti kepolisian seyogyanya wajib melakukan penyidikan dengan sesegera mungkin dan berdasarkan UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Pasal 18,” jelasnya.

Dalam undang-undang tersebut berbunyi “Untuk kepentingan umum pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilainya sendiri”.

Oleh sebab itu, Suherman mengatakan, dalam dugaan kasus yang menimpa Wali Kota Tanjungpinang dapat dikatakan sebagai kepentingan umum mengingat kasus ini sudah gaduh di tengah-tengah masyarakat dan sudah menjadi pemberitaan secara nasional.

Lanjutnya, tuduhan terhadap dugaan skandal foto mirip Wali Kota Tanjungpinang bersama seorang pria yang bukan suaminya berada di suatu kamar sangatlah cukup serius dan perlu dibuktikan keasliannya, Actori In Cumbit Onus Probatio (siapa yang mendalilkan maka dialah wajib untuk membuktikan).

Karena persoalan ini belum masuk ke ranah pengadilan, maka semua pihak baik mempunyai hak untuk menguji kebenaran foto tersebut apakah asli atau palsu, dengan cara membawanya kepada Ahli Digital Forensik yang tersertifikasi untuk diperiksa.

Keberadaan Ahli Digital Forensik dapat ditemukan di lingkungan universitas tertentu maupun dalam lingkungan penegak hukum itu sendiri.

Apabila foto itu terbukti editan atau palsu maka penyebar yang bersangkutan dapat dikenakan UU ITE Pasal 27 ayat 3 tentang Pencemaran Nama Baik, namun sebaliknya apabila foto yang bersangkutan terbukti asli dan benar maka Wali Kota Tanjungpinang dapat dikenakan Peraturan Hukum Pidana No 1 Tahun 1946 Pasal 14 dan 15 tentang menyampaikan berita bohong ke publik.

Suherman menegaskan, posisi Wali Kota Tanjungpinang rentan dilakukan pemakzulan secara hukum ketatanegaraan, kendati pun ada pernyataan-pernyataan bahwa itu adalah urusan pribadi bukan merupakan urusan pemerintahan.

“Itu sah-sah saja karena alasan tersebut pun pernah dipakai oleh mantan Bupati Garut yang pernah dimakzulkan oleh DPRD, sebagaimana yang diputus oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 P/Khs/2013 kasus Bupati Garut Aceng H. M Fikri, dalam pertimbangan hukum majelis hakim dengan tegas menyatakan bahwa dalam jabatan sebagai Bupati tidak dapat dipisahkan (dikotomi) antara posisi pribadinya di satu pihak dengan posisi jabatannya selaku bupati, karena jabatan tersebut melekat pada diri pribadi yang bersangkutan, sehingga oleh karenanya perilaku pejabat tetap harus dijaga sesuai dengan sumpah jabatan yang telah diucapkan,” tegasnya.

Ia pun berharap agar kasus tersebut harus diungkap secara hukum demi kebenaran dan keadilan untuk semuanya baik Pemerintah Kota Tanjungpinang itu sendiri maupun untuk masyarakat pada umumnya. (*)

Pewarta: Muhammad Chairuddin
Redaktur : Muhammad Bunga Ashab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *