TANJUNGPINANG – Pengamat politik dari Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIPOL) Raja Haji Fisabilillah, Kota Tanjungpinang, Endri Sanopaka turut menyoroti proses rekapitulasi suara dan perolehan suara sementara Pemilu 2024 di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
Dalam pengamatannya, Endri memprediksi bakal banyak calon incumbent atau petahana yang akan gagal menuju kursi legislatif di Pemilu 2024.
Ia menyampaikan, sampai hari ini masyarakat memang belum bisa memastikan secara resmi calon dan partai mana saja yang menjadi pemenang dalam Pemilu 2024.
“Khususnya di Kepulauan Riau, terutama di Kota Tanjungpinang,” ujarnya, Rabu 28 Februari 2024.
Ia menilai hasil survei yang selama ini beredar di masyarakat memiliki kemiripan dengan hasil rekapitulasi sementara yang bisa dilihat sekarang.
“Kalau kita lihat survei awal-awal memang tidak linier antara calon presiden dengan partai pengusungnya, itu yang terlihat terjadi di Kepri,” ujarnya.
Lanjut dia, kalau dilihat hasil survei saat ini menunjukan Partai Golkar unggul dalam hal perolehan suara di Kepri, walaupun hasil akhir bisa saja berbeda.
“Dari isunya juga terlihat Golkar unggul ya dibandingkan dengan partai yang secara nasional memenangkan perolehan suara seperti PDI Perjuangan,” ujarnya.
Endri menjelaskan, di tingkat DPR RI saat ini ada sejumlah calon bertarung memperebutkan empat kursi. Sejauh ini beberapa calon legislatif (caleg) yang unggul sementara dalam perolehan suara, seperti caleg Partai Golkar terdapat dua nama yang bersaing, yaitu Rizky Faisal dan Cen Sui Lan. Kemudian calon dari Partai Gerindra yang cukup lama memperkenalkan diri pada masyarakat Kepri, Endipat Wijaya.
“Walaupun awalnya tidak terlalu familiar, ia cukup agresif memperkenalkan diri, apalagi Endipat didukung oleh ketua umumnya sendiri yang juga menjadi calon presiden, Prabowo Subianto yang dapat menjadi nilai tersendiri,” pungkasnya.
Selanjutnya, calon incumbent dari PDI Perjuangan Sturman Panjaitan yang bersaing Soerya Respationo yang juga Ketua DPD PDI Perjuangan Kepri.
“Kemungkinan besar Pak Soerya akan mengambil kursi PDI Perjuangan dengan catatan partainya mendapatkan kursi DPR RI dapil Kepri,” ujarnya.
Begitu juga dengan calon incumbent dari Partai NasDem, Nyat Kadir. Menurutnya, kemungkinan jika NasDem memperoleh satu kursi di tingkat DPR RI maka tidak akan diduduki lagi oleh Nyat Kadir.
“Bisa jadi Randi Zulmariadi anak Wali Kota Batam, Muhammad Rudi, lebih unggul suaranya dari Pak Nyat Kadir,” ujarnya.
Akan tetapi, menurut pengamatan Endri, perolehan suara partai-partai tersebut di Kepri sangat tipis perbandingannya.
Berbeda dengan Pemilu 2019 yang saat itu terdapat salah satu calon memperoleh suara sangat tinggi, yaitu Ansar Ahmad dari Partai Golkar dengan perolehan sekitar 130 ribu suara. Hal ini menyebabkan waktu itu akumulasi perolehan suara partainya juga cukup tinggi.
Namun, pada Pemilu 2024 masing-masing calon dan partai hanya memperoleh ‘tipis-tipis’ di bawah 100 ribu suara,
“Tapi kalau menurut saya itu adalah strategi. Maksudnya jika partai politik ingin memperoleh kursi, mereka harus mengirimkan orang didaftar calon itu adalah orang-orang yang petarung,” ungkapnya.
Endri juga menyinggung terkait calon incumbent pada pemilu kali ini berpotensi gagal melenggang ke legislatif. “Iya seperti contohnya tadi, incumbent berkemungkinan akan tergeser, walaupun partainya tetap dapat kursi,” ujarnya.
Bahkan menurut Endri, caleg Asman Abnur yang selama ini dikenal sebagai tokoh politik nasional, Ketua DPW PAN Kepri, dan memiliki alat peraga kampanye yang luar biasa banyak, pada kenyataannya juga tertinggal dalam perolehan suara.
“Padahal beliau cukup jawara untuk beberapa kali pemilu. Saya melihat pemilu sekarang ini cukup berbeda. Partai politik tidak bisa menjadi jaminan calon bisa terpilih dengan hanya bermodalkan ‘cukup dikenal’ ,” katanya.
Menurut Endri, kegagalan incumbent dalam memperoleh suara ini disebabkan karena jenis pemilih pada Pemilu 2024 adalah pemilih pragmatis.
Selain itu, praktik ‘money politic’ atau politik uang bisa jadi penyebabnya apalagi bisa dibilang terjadi bersifat masif. Praktik politik uang cukup terdengar terjadi setiap pemilu.
“Hal itu yang kita khawatirkan, namun sulit dibuktikan. Seperti kentutlah, berbau tapi tidak tahu siapa yang mengeluarkan,” ujarnya.
Selain itu, Endri memandang penyebab gagalnya calon incumbent adalah kepercayaan diri yang terlalu tinggi. Penyebabnya, ada dua kemungkinan, pertama, calon yang percaya diri merasa telah memenuhi kebutuhan konstituennya.
“Contohnya, calon tersebut mungkin telah merespons usulan dan permintaan konstituennya selama masa jabatannya, bahkan memberikan alokasi pokok pikiran (pokir)” ungkap Endri.
Baca juga: AJI Tanjungpinang Desak Bawaslu dan KPU Tuntaskan Polemik Pemilu dengan Profesional
Namun, nyatanya konstituennya merasa tidak cukup hanya dengan pokir. Akibatnya, calon petahana yang yakin sudah banyak berbuat, tetap kehilangan dukungan.
Hal ini karena calon tersebut sudah tidak memiliki sumber ‘ongkos politik’ untuk memenuhi kebutuhan konstituennya, sehingga akhirnya tumbang dan kehilangan suara secara signifikan.
Sebaliknya, incumbent yang selama menjabat tidak loyal kepada konstituennya juga berkemungkinan besar tidak dipilih, karena masyarakat akan memilih orang yang bisa membeli suaranya.
Bahkan menurut Endri beberapa tokoh-tokoh masyarakat yang cukup dikenal, dan memiliki kontribusi baik justru tidak terpilih. Sebab, ia tidak mampu memberikan ‘uang pengganti’ untuk pemilih datang ke TPS.
“Masyarakat sekarang sangat luar biasa pragmatis. Saya bisa menyatakan bahwa hampir sebagian besar yang terpilih itu, tidak yakin saya karena ketokohannya, tapi lebih kepada fakto X, kita sebut saja faktor uang” ungkap Endri.
Dalam pengamatannya, justru saat ini tokoh-tokoh yang berjuang akan kalah dengan calon yang secara desas desus bermain dengan politik uang.
“Yang angka perolehan suaranya di atas 1000 bisa kita duga memberikan sesuatu kepada pemilih. Ini yang kita sayangkan, mekanisme pemilihan hari ini cenderung pada mekanisme pasar,” ucapnya. (*)
Ikuti Berita Ulasan.co di Google News