Kejati Kepri Hentikan 2 Kasus Penadahan di Kejari Batam Lewat Keadilan Restoratif

Kejati Kepri
Kajati Kepri Dr. Rudi Margono didampingi Wakajati Kepri Rini Hartatie dan Aspidum Bayu Pramesti saat ekspose perkara penghentian dua kasus penadahan. (Foto: Dok Penkum Kejati Kepri)

TANJUNGPINANG – Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau (Kejati Kepri) kembali menyelesaikan dua kasus lewat keadilan restoratif atau restorative justice, Selasa 19 Maret 2024.

Kasi Penkum Kejati Kepri Denny Anteng Prakoso menyampaikan, Kejaksaan Negeri Batam mengajukan satu kasus tindak pidana orang dan harta benda (Oharda) dengan dua orang tersangka yaitu Tersangka Yoseph Francois Niko Saputra alias Niko dalam kasus tindak pidana penadahan melanggar Pasal 480 Ke – 1 KUHPidana Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana. Kedua tersangka Safira Pratama Putri alias Lala dalam kasus tindak pidana penadahan melanggar Pasal 480 Ke – 1 KUHPidana Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana.

“Dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, telah disetujui oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI dengan alasan dan pertimbangan menurut hukum terhadap pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif yang telah memenuhi syarat,” ujar Denny.

Menurut ketentuan peraturan perUndang-undangan dengan segera Kepala Kejaksaan Negeri Batam untuk segera memproses penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) yang berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. “Sesuai dengan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif,” katanya.

Baca juga: Kejati Kepri Tahan 2 Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Proyek Polder Tanjungpinang

Denny menambahkan bahwa Kejati Kepri melakukan penyelesaian perkara tindak pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan, kepentingan korban, maupun pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pembalasan. Selanjutnya merupakan suatu kebutuhan hukum masyarakat dan sebuah mekanisme yang harus dibangun dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan dan pembaharuan sistem peradilan dengan memperhatikan azas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, dalam rangka menciptakan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.

“Melalui kebijakan Restorative Justice ini, diharapkan tidak ada lagi masyarakat bawah yang tercederai oleh rasa ketidakadilan, meskipun demikian perlu juga untuk digaris bawahi bahwa keadilan restoratif bukan berarti memberikan ruang pengampunan bagi pelaku pidana untuk mengulangi perbuatan pidana,” kata Denny. (*)

Ikuti Berita Ulasan.co di Google News