Zaini mengungkapkan, pezina muhsan atau orang yang sudah berkeluarga, hukumannya dirajam hingga mati. “Hukumannya jelas juga. Pezina Muhsan dosanya besar dan dirajam sampai mati,” tuturnya.
Lanjutnya, Allah telah melarang umatnya untuk tidak mendekati perbuatan zina baik dengan menatap dan berdekatan dengan muhrimnya. “Maka janganlah kamu mendekati zina,” ucapnya saat membacakan firman Allah SWT.
Pemimpin Perempuan Menurut Pandangan Islam
Seiring berkembangnya zaman, tidak sedikit wanita yang naik menjadi seorang pemimpin, baik itu di organisasi, kelompok, daerah, dan bahkan negara. Lalu bagaimanakah pandangan Islam soal hak tersebut?
Menurut Ustadz Muhammad Zaini, sebagian pakar mengatakan, perempuan dapat menjadi pemimpin selagi sanggup melaksanakan tugasnya. Begitu juga sebaliknya.
“Sebagian berpandangan mengenai sebuah urusan kemaslahatan umum dan masih dapat dilaksanakan, maka boleh saja,” jelasnya.
Akan tetapi, apabila dikembalikan ke dalam Al Quran, maka seorang pemimpin adalah fitrahnya kaum laki-laki. “Dalam hukum Islam, Q.S. Annisa, fitrahnya seorang pemimpin adalah laki-laki. Laki-laki adalah pemimpin,” ujarnya.
Menurut Zaini, ada kalanya seorang wanita mengalami siklus sehingga emosinya tidak terkendali. Oleh sebab itu, dikhawatirkan akan mempengaruhi kinerjanya sebagai pemimpin.
Selain itu, apabila seorang wanita menjadi pemimpin, maka akan berpotensi menimbulkan fitnah yang besar.
“Sebagian para ulama malah melarang seorang wanita menjadi pemimpin publik,” tegasnya.
Lanjut Zaini, dalam sejarah Islam, terdapat seorang pemimpin wanita pada masa Nabi Sulaiman As. Pemimpin tersebut ialah Ratu Bilqis yang memimpin Negeri Saba. Akan tetapi Ratu Bilqis akhirnya tunduk kepada Nabi Sulaiman As.
“Kalau kita kaji, kemudian Ratu Bilqis saja mengunjungi Nabi Sulaiman. Dan kemudian ia beriman kepada Allah dan menjadi contoh bagi rakyatnya untuk beriman dan bertakwa kepada Allah SWT,” jelasnya lagi. *
Pewarta : Tim ulasan
Editor : MD Yasir
