Pemilu di Era Digitalisasi, Sudah Layakkah e-Voting?

Pemilu di Era Digitalisasi, Sudah Layakkah e-Voting?
Petugas kepolisia saat mengamankan kotak suara pada pemilu beberapa waktu lalu. (Foto:Muhammad Bunga Ashab)

Sistem digitalisasi pada tahapan rekapitulasi pun belum menjadi standar baku rekapitulasi yang sah, melainkan hanya sebatas alat bantu dan alat publikasi. Rekapitulasi secara manual atau konvensial masih diandalkan dalam merekapitusi perolehan suara peserta pemilu dan pilkada.

Pengamat politik dari Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Bismar Arianto berpendapat, untuk meyederhanakan pelaksanaan pemilu serentak adalah melalui pemanfataan teknologi.

Salah satu tahapan yang menjadi perhatian publik dalam penyelenggaraan pemilu serentak 2019 adalah panjangnya rantai birokrasi perhitungan dan rekapitulasi suara. Proses ini dilakukan secara manual berjenjang dari TPS hingga nasional.

Mulai dari perhitungan Suara di TPS oleh KPPS pada 17-18 April 2019, selanjutnya rekapitulasi suara di kecamatan oleh PPK tanggal 18 April – 4 Mei 2019, rekapitulasi suara di KPU Kabupaten/Kota tanggal 22 April-7 Mei 2019, kemudian rekapitulasi suara di KPU Provinsi tanggal 22 April-12 Mei 2019 dan terakhir rekapitulasi suara nasional di KPU RI tanggal 25 April-22 Mei 2019.

Tahapan perhitungan dan rekapitulasi suara dalam pemilu serentak ini memerlukan waktu lebih dari satu bulan. Proses manual dan berjenjang ini menguras energi yang besar penyelenggara termasuk juga publik yang terbelah.

Baca Juga: Persiapan Pemilu 2024, Bawaslu Mulai Siapkan Kader Pengawal Demokrasi

Lamanya proses perhitungan, rekapitulasi dan penetapan hasil pemilu ini berdampak pada psikologi massa yang berujung pada isu-isu negatif terhadap penyelenggaraan pesta demokrasi. Semua tahapan perhitungan dan rekapitulasi yang berbasis manual ini menjadi tekanan yang kuat pada penyelenggara karena adanya tuntutan publik untuk mengetahui hasil pemilu secara cepat, ditambah dengan pemanfataan media sosial yang masif dalam menggiring opini publik.

Lamanya proses ini menimbulkan kecurigaan masyarakat sehingga terpengaruh dan menelan berbagai isu yang berkembang. Akibatnya, sebagian masyarakat tidak percaya dengan penyelenggara pemilu, dan melakukan aksi unjuk rasa,” ujarnya, yang juga mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMRAH.

E-rekap

Sebenarnya, KPU sudah mulai memanfaatkan teknologi untuk melakukan rekapitulasi C1 yang di-scan dan ditampilkan di website KPU dalam bentuk tabulasi melalui Situng (Sistem Penghitungan), tetapi situng hanya sebagai media keterbukaan informasi KPU terhadap masyarakat saja dan bukan merupakan hasil resmi pemilu.

Menguat wacana agar dalam pemilu mulai menggunakan teknologi sebagai sebuah proses resmi dalam menentukan hasil pemilu. Dalam Pilkada Serentak 2020 ada wacana untuk menggunakan sistem rekapitulasi elektronik (e-rekap). Hal ini sudah dimulai dari rancangan PKPU Pilkada Serentak 2020 yang memasukkan tentang e-rekap.

Pelaksanaan e-rekap ini tentu bisa memangkas panjangnya birokrasi pemilu yang manual berjenjang dari TPS hingga nasional, ada lima tahapan yang dilakukan dari proses perhitungan ke rekapitulasi yang membutuhkan waktu lebih dari satu bulan. Teknisnya e-rekap mulai dari TPS langsung ke rekapatulisasi Kabupaten/Kota, dilanjutkan provinsi dan level nasional.

Melalui pola ini tentu sebagian besar tahapan perekapan bisa dipangkas sehingga waktu rekapitulasi bisa lebih cepat. E-rekap berjalan dengan baik harus didukung oleh sistem informasi dan teknologi, selain itu juga harus didukung oleh keberadaan saksi dari peserta pemilu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *