Pemkot Tanjungpinang Terancam Defisit, Pakar Ekonomi Anjurkan Berutang

Rafki Rasyid
Pakar ekonomi UMRAH, Rafki Rasyid (Foto: dok/pribadi)

TANJUNGPINANG – Pemerintah Kota (Pemkot) Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), saat ini menghadapi potensi defisit anggaran sebesar Rp97 miliar atau sekitar 8,89% dari struktur belanja daerah.

Merespons itu, pakar ekonomi dari Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Rafki Rasyid, menganjurkan Pemkot Tanjungpinang melakukan peminjaman alias berutang kepada kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai jalan keluar.

Dalam perspektif ilmu ekonomi, kata Rafki, anggaran memiliki peran penting sebagai alat untuk mendorong atau menahan aktivitas ekonomi.

Rafki menekankan defisit merupakan hal yang wajar, jika pemerintah ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi, strategi yang dapat diambil adalah memang dengan membuat anggaran menjadi defisit.

Menurutnya, dengan meningkatkan pengeluaran melalui pembengkakan defisit anggaran, pemerintah akan secara efektif mendorong aktivitas ekonomi yang lebih besar, walaupun akan terjadi selisih di antara keduanya.

“Artinya, dengan adanya defisit berarti pengeluaran pemerintah itu lebih besar dibanding dengan penerimaan seperti retribusi, bagi hasil dari pemerintah pusat, dan pemasukan lainnya,” jelasnya.

Lebih lanjut, Rafki menerangkan, defisit anggaran bisa disebabkan dua hal, yaitu pendapatan daerah yang tidak terkumpul dengan baik, seperti retribusi, atau karena keputusan untuk meningkatkan anggaran untuk proyek-proyek tertentu dengan tujuan mempercepat pergerakan roda ekonomi.

“Ada empat faktor yang dapat menggerakkan ekonomi, yaitu, konsumsi rumah tangga, konsumsi perusahaan, konsumsi pemerintah, dan ekspor,” ujarnya.

Lanjut dia, defisit anggaran bukanlah sesuatu yang negatif, justru merupakan hal yang bagus, asalkan dikelola dengan baik serta ditutupi dengan penerimaan atau pembiayaan yang lain.

“Justru yang tidak bagusnya, ketika defisit anggaran diselesaikan dengan cara memotong anggaran,” ujarnya.

Kendati begitu, ia menyarankan agar pemerintah harus tetap hati-hati dalam menangani defisit. Hal itu karena jika saja ada langkah pemotongan terhadap anggaran rutin dan pemasukan pegawai, maka dapat berpotensi memengaruhi kinerja, loyalitas, dan kesejahteraan pegawai.

Bahkan menurutnya, hal tersebut juga bisa mempengaruhi ekonomi Tanjungpinang.

“Pegawai ini kan konsumen juga yang belanja kebutuhan hidup ke pasar. Jika pemasukan mereka dipotong, maka daya beli akan berkurang, dan berimbas juga kepada turunnya pendapatan pedagang,” tuturnya.

Baca juga: Pemkot Tanjungpinang Defisit Rp97 Miliar, Sekda: Tunda Belanja Daerah

Untuk itu, Rafki menanjurkan salah satu langkah terbaik yang bisa diambil Pemkot Tanjungpinang dalam menghadapi defisit, yaitu dengan meminjam atau berhutang.

Ia pun menjelaskan, saat ini ada mekanisme khusus yang diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) No 54 tahun 2005 dan PP No 30 Tahun 2011 yang merupakan turunan dari UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

“Regulasi tersebut mengatur agar pemerintah daerah dapat berhutang ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu),” ujarnya.

Ia menilai dengan berutang kecil kemungkinan pemerintah daerah akan mengalami gagal bayar. Sebab, tidak mungkin Pemkot Tanjungpinang akan mengalami kebangkrutan.

“Langkah ini justru resikonya kecil dan relatif aman, karena sama-sama institusi pemerintah” ujarnya.

Dengan begitu, Pemkot Tanjungpinang bisa tetap menjalankan program-programnya sambil membayar angsuran utang..Meskipun akan ada bunga yang harus dibayarkan kepada Kemenkeu, dalam pandangannya hal tersebut tidak akan jadi masalah.

“Namun, tetap dengan satu syarat, yakni Pemkot bisa mengelola utang tersebut dengan baik untuk menggerakkan ekonomi masyarakat,” katanya.

Menurutnya, dengan bergeraknya roda ekonomi maka pemasukan ke daerah juga akan semakin kencang. Sebab, hal tersebut akan membuat banyaknya pendapatan Pemkot dari berbagai sektor. Sehingga tidak akan kesulitan membayar hutang.

“Pemerintah pusat saja terus menambah hutang ke luar negeri. Berkaca saja ke APBN yang dulu berhutang Rp4 ribu trilliun sekarang hampir Rp8 ribu trilliun,” ujarnya.

Rafki tidak menampik, kebijakan berutang bagi pemerintah daerah bukanlah hal yang populer sehingga ragu dan takut memanfaatkan tersebut. (*)