Penyelenggara Pemilu Sebaiknya Jadi Ad Hoc

Penyelenggara Pemilu Sebaiknya Jadi Ad Hoc
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini (kiri) bersama Ketua Bawaslu RI periode 2008-2011 Nur Hidayat Sardini (kanan) dalam acara #GazeboNHS di Semarang, Jumat (10/09/2021). (Foto: Antara)

Semarang – Penyelenggara pemilihan umum di kabupaten/kota sebaiknya tidak lagi permanen, namun jadi ad hoc jika model pemilu masih borongan menurut Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini.

“Kalau Pemilu Presiden/Wakil Presiden, pemilu anggota legislatif, dan pemilihan kepala daerah diselenggarakan pada tahun yang sama, terlalu boros mempertahankan masa jabatan 5 tahun,” kata Titi Anggraini di Semarang, Rabu (15/09).

Titi yang pernah sebagai Direktur Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ini menyatakan setuju kalau penyelenggara pemilu di tingkat kabupaten/kota, baik KPU maupun bawaslu, kembali bersifat ad hoc jika pembuat undang-undang tidak mau mengubah desain pemilu itu.

Menyinggung penyelenggara pemilu tingkat provinsi, Titi mengutarakan bahwa KPU/bawaslu provinsi tetap seperti sekarang ini karena terkait dengan instrumen, pemeliharaan kantor, sumber daya, dan sebagainya.

“Jadi, teman-teman penyelenggara pemilu di tingkat kabupaten/kota tidak usah baper (bawa perasaan), apalagi sampai merasa wacana itu merupakan serangan terhadap institusi terhadap personal,” kata Titi.

Baca Juga : KPU RI Usulkan Pemilu Digelar 21 Februari 2024

Ia menegaskan bahwa diskursus KPU/bawaslu kembali menjadi lembaga ad hoc dengan masa jabatan cukup 3 tahun terkait dengan cost benefit analysis (analisis biaya manfaat) karena pelaksanaan pemilu dan pilkada bersamaan waktunya.

Diakui oleh Titi bahwa cost benefit analysis ini tidak banyak diterima secara objektif oleh teman-teman penyelenggara pemilu tingkat kabupaten/kota. Padahal, ini semata-mata mencarikan desain pemilu yang betul-betul terbaik untuk demokrasi.

Titi berpendapat bahwa model KPU/bawaslu yang permanen 5 tahun di kabupaten/kota hanya relevan untuk mempertahankannya kalau desain keserentakan pemilunya memisahkan antara pemilu nasional dan pemilu daerah.

Pemilu nasional untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, serta anggota DPD, sedangkan pemilu daerah dalam rangka memilih anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota, serta gubernur/wakil gebernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota.

Makanya, kata dia, sejak lama Perludem mengusulkan model keserentakan seperti ini, yaitu pemilu nasional diselenggarakan setiap 5 tahun. Dua tahun setelahnya dilanjutkan pemilu daerah sehingga siklus pemilu berlangsung secara berkesinambungan.

Merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2016 tentang Kedudukan Keuangan Ketua dan Anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota, total uang kehormatan untuk 514 ketua KPU kabupaten/kota selama 5 tahun sebesar Rp395.461.320.000,00.

Jika masa bakti 3 tahun, uang kehormatan untuk ketua KPU kabupaten/kota sebesar Rp237.276.792.000,00 atau hemat sebesar Rp158.184.528.000,00.

Sementara itu, untuk 2.056 anggota KPU kabupaten/kota se-Indonesia sebesar Rp1.427.645.280.000 selama 5 tahun, sedangkan masa bakti 3 tahun sebesar Rp856.587.168.000,00, atau penghematan anggaran Rp571.058.112.000,00.

Dengan demikian, total penghematan, baik anggaran untuk ketua maupun anggota KPU kabupaten/kota, sebesar Rp729.242.640.000,00.

“Itu baru uang kehormatan bagi ketua dan anggota KPU kabupaten/kota, belum termasuk masuk operasionalnya dan fasilitas bagi penyelenggara pemilu. Jadi, lebih besar lagi jumlah alokasi anggarannya,” kata Titi.

Pewarta : Antara
Redaktur: M Rakhmat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *