JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) RI, Mahfud MD menegaskan, perihal ubah batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) bukan ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK).
Mahfud menjelaskan, bahwa menurut Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang saat ini sedang diuji MK, hanya bisa diubah oleh DPR dan pemerintah selaku positive legislator.
Mahfud meneruskan, bahwa aturan tersebut merupakan ‘open legal policy’. MK yang berstatus negative legislator, tak bisa menambahkan aturan baru itu ke undang-undang.
“Kalau hanya orang tidak suka dan sebagainya, ‘Oh, itu tidak pantas,’ tetapi tidak dilarang oleh konstitusi, MK tidak boleh membatalkan sesuatu yang tidak dilarang oleh konstitusi,” kata Mahfud, di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (26/9).
Mahfud juga menjelaskan, MK sebagai negative legislator, wewenangnya terbatas pada membatalkan aturan di undang-undang yang tak sesuai undang-undang dasar.
Ia yakin para hakim MK sudah paham soal ‘open legal policy’ tersebut. Jika pun MK memutus syarat usia capres-cawapres menjadi 35 tahun, ia berharap ada penjelasan yang lengkap dalam putusan.
Baca juga: Dana Kampanye Caleg di Pemilu 2024 Capai Ratusan Miliar, Ini Rinciannya
Baca juga: Kaesang Curhat, Ia dan Istrinya Dihujat Netizen Usai Gabung PSI
“Biar dia melihat sendiri apakah benar ini open legal policy atau ndak. Kalau ini bukan open legal policy, ada masalah yang harus segera diselesaikan, apa alasannya? Itu harus jelas nanti di dalam putusannya,” kata Mahfud dikutip dari cnnindonesia.
Sebelumnya, UU Pemilu yang mengatur syarat usia capres-cawapres minimal 40 tahun. Aturan tersebut digugat ke Mahkamah Konstitusi.
Ada gugatan yang meminta MK menurunkan syarat usia capres-cawapres menjadi 35 tahun. Ada pula gugatan yang meminta MK membatasi syarat usia capres-cawapres maksimal 70 tahun.
MK belum menjadwalkan putusan gugatan-gugatan tersebut. Akan tetapi, Ketua MK Anwar Usman menyebutkan, akan ada putusan dalam waktu dekat.
“Biar dia melihat sendiri apakah benar ini ‘open legal policy’ atau tidak. Kalau ini bukan ‘open legal policy’, ada masalah yang harus segera diselesaikan, apa alasannya? Itu harus jelas nanti di dalam putusannya,” kata Mahfud.