JAKARTA – Kenaikan pajak masih menjadi topik pembicaraan di kalangan masyarakat belakangan ini, dan bahkan menuai pro dan kontra setelah pemerintah memberlakukan pajak pertambahan nilai (PPN) per 01 Januari 2025 naik jadi 12 persen.
Selain PPN, pada sistem perpajakan di Tanah Air ada juga yang namanya pajak penghasilan (PPh). Kedua jenis pajak tersebut kerap membuat bingung masyarakat.
Namun yang pasti, baik PPN dan PPh merupakan dua jenis objek pajak yang berbeda. Keduanya menjadi sumber penerimaan bagi negara.
Melansir dari cnnindonesia, pajak PPN dan PPh menyumbang 50 persen dari total pendapatan negara tahun 2023. PPN dan PPh memiliki mekanisme yang berbeda.
1. PPN
PPN adalah pajak pertambahan nilai, biaya tambahan yang harus dibayarkan konsumen saat membeli barang. Namun, tidak semua barang yang dibeli dikenakan PPN, melainkan hanya Barang Kena Pajak (BKP).
Adapun PPN yang dikenakan kepada konsumen yakni ada dua jenis. Pertama, dipungut dan ditentukan besarannya oleh Pemerintah Daerah (Pemda) yang disebut PB1. PB1 saat ini masih sebesar 10 persen.
PB1 dikenakan kepada konsumen, misalnya ketika makan di restoran. Pajak ini adalah tambahan biaya dari keseluruhan pembelian konsumen, yang dipungut oleh pemda untuk keperluan daerah yang bersangkutan.
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) Pasal 58 ayat 1, PB1 merupakan bagian dari Tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang ditetapkan sebesar 10 persen.
Adapun objek PBJT adalah makanan dan/atau minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa parkir dan jasa kesenian/hiburan.
Sementara, PPN secara umum yang akan dinaikkan menjadi 12 persen pada 2025 dari saat ini 11 persen adalah yang dipungut oleh pemerintah pusat, melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan.
Kenaikan itu diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Subjek PPN ini adalah perusahaan yang masuk sebagai wajib pajak (WP) Badan.
Meski subjek PPN adalah perusahaan, tarif tersebut dipungut kepada konsumen. Jadi perusahaan hanya sebagai pemungut pajak perantara konsumen dan pemerintah.
Beberapa transaksi yang dikenakan PPN adalah pembelian rumah, kendaraan bermotor, layanan internet, sewa toko dan apartemen hingga jasa langganan Netflix dkk. Artinya, jika PPN naik, maka harga barang-barang dan jasa tersebut sudah pasti ikut terkerek.
2. PPh
PPh atau pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh individu, badan usaha, atau entitas lainnya selama satu tahun pajak.
Penghasilan yang dimaksud mencakup semua tambahan kemampuan ekonomis yang diterima, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, yang dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan.
Di Indonesia, ketentuan mengenai PPh diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. UU ini telah mengalami beberapa perubahan untuk menyesuaikan dengan dinamika ekonomi dan kebutuhan pembangunan nasional.
Objek PPh meliputi penghasilan dari pekerjaan seperti gaji, tunjangan, bonus, dan honorarium, penghasilan dari usaha, penghasilan pasif seperti bunga, dividen dan royalti, hingga keuntungan dari penjualan aset dan lain-lain.
Sementara WP yang dikenakan PPh meliputi individu yang menerima penghasilan, baik dari pekerjaan maupun usaha, badan usaha seperti perusahaan, koperasi, lembaga, dan organisasi, hingga bentuk usaha tetap (BUT) seperti entitas asing yang menjalankan usaha di Indonesia.
Berikut tarif PPh untuk individu bersifat progresif. Artinya semakin tinggi nilai penghasilan, maka semakin tinggi juga tarif pajaknya:
– Penghasilan sampai Rp60 juta: 5 persen
– Penghasilan Rp60 juta-Rp250 juta: 15 persen
– Penghasilan Rp250 juta-Rp500 juta: 25 persen
– Penghasilan di atas Rp500 juta: 30 persen
– Penghasilan di atas Rp5 miliar: 35 persen