Ini Loh Ancaman Baru Penduduk Bumi, Lebih Serius dari COVID-19

Ini Loh Ancaman Baru Penduduk Bumi, Lebih Serius dari COVID-19
Foto: Para pekerja membersikan wabah "ingus laut" yang mengancam ekosistem Laut Marmara di pantai Caddebostan, di sisi Asia Istanbul, Turki. (AP/Kemal Aslan)

Salah satu dampak perubahan iklim adalah matinya karang. Saat El Nino tahun 2016, air hangat mengancam terumbu karang di Great Barrier Reef (GBR).

Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mencatat jumlah bencana, seperti banjir dan gelombang panas (heatwave), akibat perubahan iklim meningkat lima kali lipat selama 50 tahun terakhir.

Tidak hanya itu, deretan bencana ini juga menewaskan lebih dari 2 juta orang dan menelan kerugian total US$ 3,64 triliun atau sekitar Rp 51.981 triliun (asumsi Rp 14.200/US$).

Dalam laporan terbarunya, organisasi di bawah naungan PBB itu mengatakan mereka melakukan tinjauan paling komprehensif tentang kematian dan kerugian ekonomi akibat cuaca, air, dan iklim ekstrem yang pernah dihasilkan.

Baca juga: Ancaman Tenggelam hingga Tsunami Jakarta dan Mitigasi Bencana

Ini mensurvei sekitar 11.000 bencana yang terjadi antara 1979-2019, termasuk bencana besar seperti kekeringan 1983 di Ethiopia, peristiwa paling fatal dengan 300.000 kematian, dan Badai Katrina di Amerika Serikat (AS) pada 2005 yang membuat kerugian US$ 163,61 miliar.

Laporan tersebut menunjukkan tren yang semakin cepat, dengan jumlah bencana meningkat hampir lima kali lipat dari tahun 1970-an hingga dekade terakhir. Ini menambah tanda-tanda bahwa peristiwa cuaca ekstrem menjadi lebih sering karena pemanasan global.

WMO mengaitkan frekuensi yang meningkat dengan perubahan iklim dan pelaporan bencana yang lebih baik. Biaya dari peristiwa tersebut juga melonjak dari US$ 175,4 miliar pada 1970-an menjadi US$ 1,38 triliun pada 2010-an ketika badai seperti Harvey, Maria dan Irma melanda AS.

“Kerugian ekonomi meningkat seiring meningkatnya eksposur,” kata Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas, dikutip dari Reuters pada Sabtu (2/10).

Sementara bahaya bencana menjadi lebih mahal dan sering terjadi, jumlah kematian tahunan turun dari lebih dari 50.000 pada tahun 1970-an menjadi sekitar 18.000 pada tahun 2010. Ini menunjukkan bahwa perencanaan yang lebih baik telah membuahkan hasil.

“Sistem peringatan dini multi-bahaya yang ditingkatkan telah menyebabkan penurunan angka kematian yang signifikan,” tambah Taalas.

Namun lebih dari 91 persen dari 2 juta kematian terjadi di negara berkembang. Ini mencatat bahwa hanya setengah dari 193 anggota WMO yang memiliki sistem peringatan dini multi-bahaya.

Petteri Taalas juga mengatakan bahwa “kesenjangan yang parah” dalam pengamatan cuaca, terutama di Afrika, merusak keakuratan sistem peringatan dini.

WMO berharap laporan tersebut akan digunakan untuk membantu pemerintah mengembangkan kebijakan untuk melindungi masyarakat dengan lebih baik.

1688

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *