Peserta Nostalgia Pendaki Senior Gunung Slamet 8 Orang

Peserta Nostalgia Pendaki Senior Gunung Slamet Hanya 8 Orang
Peserta "Pendakian Bersama Napas Tua ke Gunung Slamet" berfoto bersama rombongan pendaki reguler sebelum mendaki Gunung Slamet melalui Pos Pendakian Bambangan, Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Sabtu (6/11/2021). (foto:ANTARA/Sumarwoto)

Purbalingga – Peserta kegiatan nostalgia pendakian bersama napas tua, atau pendaki senior di Gunung Slamet berjumlah 8 orang saja.

Awalnya panitia pelaksana Pendakian Bersama Napas Tua ke Gunung Slamet ditargetnya 50 orang.

Walau hanya 8 orang peserta yang ikut kegiatan, pendakian tetap dilaksanakan melalui jalur Bambangan, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.

Baca juga: Puluhan Pendaki Senior akan Bernostalgia di Gunung Slamet

Saat ditemui di Pos Pendakian Bambangan, Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Purbalingga, Sabtu (6/11), fasilitator Pendakian Bersama Napas Tua ke Gunung Slamet, Wahyu Budiarto mengakui jumlah pendaki yang mengikuti kegiatan tersebut tidak mencapai target yang diharapkan yakni maksimal 50 orang.

“Bahkan beberapa pendaki yang sudah mendaftarkan diri, terutama yang berasal dari Jawa Timur batal mengikuti kegiatan tersebut. Karena mereka ikut terlibat dalam misi sosial penanganan bencana di Kota Batu, Malang,” katanya.

“Total yang terlibat dalam kegiatan ini sekitar 20 orang, termasuk tim operasional yang mengawal pendakian,” kata pria yang akrab disapa Yudi Kumis.

Selain peserta ‘Pendakian Bersama Napas Tua ke Gunung Slamet’, kata dia, pihaknya juga memberangkatkan sekitar 30 pendaki reguler yang berasal dari wilayah Jabodetabek.

Menurut dia, keberangkatan pendaki reguler ke puncak Gunung Slamet beriringan dengan peserta ‘Pendakian Bersama Napas Tua’.

Baca juga: Lima Pendaki Gunung Timau Yang Hilang Berhasil Ditemukan

Salah seorang peserta ‘Pendakian Bersama Napas Tua ke Gunung Slamet’, Arnold Halim (56) mengaku memiliki hobi mendaki gunung sejak masih duduk di bangku sekolah menengah pertama sekitar tahun 1981.

“Saya mulai aktif lagi mendaki lagi dalam tiga tahun terakhir. Pendakian terakhir September kemarin di Gunung Gede,” kata pria asal Jakarta itu.

Terkait dengan kondisi cuaca di Gunung Slamet yang sering turun hujan, dia mengaku sudah melakukan persiapan maksimal karena sebagai pendaki gunung harus siap dengan segala kondisi.

Sementara dalam rombongan pendaki reguler asal Jabodetabek, ada seorang anak berusia 11 tahun yang ikut serta mendaki Gunung Slamet bersama kedua orang tuanya, Joko Susilo (39) dan Leni Hamdi (40) warga Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Saat ditemui sebelum pendakian, bocah bernama Muhammad Bianco Alaric itu mengaku sudah ikut mendaki gunung bersama orang tuanya sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak.

“Saya ikut mendaki gunung enam atau tujuh kali. Ini pertama kalinya saya ikut mendaki Gunung Slamet,” kata dia yang bercita-cita menjadi astronot.

Ia mengaku sangat senang bisa ikut mendaki gunung bersama orang tuanya meskipun kadang merasa letih.

Kendati demikian, dia tidak meminta digendong orang tuanya ketika merasa letih. Hanya istirahat sebentar lalu jalan lagi,” katanya.

Terkait dengan keikutsertaan anaknya dalam pendakian ke Gunung Slamet, Joko Susilo mengatakan, pendakian merupakan kegiatan rutin keluarganya namun dalam beberapa waktu terakhir ditunda karena adanya pandemi Covid-19.

“Sebenarnya kemarin mau ke Gunung Merbabu tapi agak ribet transportnya, hingga akhirnya ketemu Pak Yudi (Yudi Kumis, red.) langsung diarahkan kesini dan anak saya nagih mau ikut,” katanya.

Sebelum berangkat ke Gunung Slamet, kata dia, Bianco ikut latihan mendaki lebih dulu di Gunung Salak.

Menurut dia, Bianco yang merupakan anak semata wayangnya itu mulai mengikuti pendakian sejak masih berusia empat tahun.

“Awalnya di Cicurug, trekking setengah jam lalu naik, dan naik lagi. Setelah saya pikir sudah sanggup mengatasi udara dingin, saya ajak ke Gunung Gede. Beberapa bulan kemudian ke Pangrango, terus lintas dari Putri ke Cibodas, Salak,” katanya menjelaskan.

Ia mengatakan, semua itu dilakukan agar anaknya dapat meminimalkan penggunaan gawai sehingga bisa memaksimal saraf motoriknya.

“Basisnya anak kan motorik, harus gerak terus. Kalau diam terus di rumah kan kurang (gerak),” kata dia yang sebelumnya pernah mendaki Gunung Slamet melalui jalur Guci, Kabupaten Tegal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *