PLN Pakai Serbuk Kayu dan Sampah untuk Bahan Bakar PLTU Gantikan Batu Bara

PLTU
PT PLN (Persero) berhasil menerapkan co-firing atau pencampuran biomassa dengan batu bara pada 28 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan total energi hijau yang dihasilkan 96.061 Megawatt hour (MWh) hingga Februari 2022. (ANTARA/ Try M Hardi)

JAKARTA – PT PLN (Persero) menggunakan limbah serbuk kayu dan sampah sebagai campuran bahan bakar, untuk menggantikan Batu Bara di 28 unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Pihak PLN mengimplementasikan teknologi co-firing, dan mampu menekan emisi sebanyak 96 ribu ton pada Januari-Februari 2022

Direktur Mega Proyek dan Energi Baru Terbarukan PLN, Wiluyo Kusdwiharto mengatakan, pihaknya akan menerapkan teknologi co-firing terhadap 52 PLTU.

“Penggunaan teknologi co-firing di PLTU merupakan salah satu upaya kami, dalam mengurangi emisi di sektor kelistrikan. Disamping menambah pembangkit baru yang berasal dari energi baru terbarukan,” ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Rabu (30/3).

Wiluyo menjelaskan, pembangkit-pembangkit tersebut memanfaatkan limbah serbuk kayu hingga sampah sebagai pengganti batu bara untuk bahan bakar.

Hingga bulan Februari 2022, kebutuhan campuran biomassa untuk bahan bakar PLTU mencapai 89.111 ton.

Baca juga: Tolak Pembangunan SUTT, Puluhan Warga Demo Kantor Bright PLN Batam

PLTU Suralaya di Cilegon, Banten dan PLTU Paiton di Probolinggo, Jawa Timur yang menjadi tulang punggung kelistrikan Jawa dan Bali kini telah menerapkan teknologi co-firing.

Menurut Wiluyo, teknologi co-firing yang dilakukan oleh PLN tak hanya sekedar mengurangi emisi, tetapi juga memberdayakan masyarakat karena program itu bisa mengajak masyarakat ikut terlibat aktif dalam penanaman tanaman biomassa.

Bahkan, masyarakat bisa mengelola sampah rumah tangga untuk dijadikan pelet sebagai bahan baku PLTU.

“Teknologi ini bukan hanya sekedar pengurangan emisi, tetapi ada unsur ekonomi sirkular yang mengolah limbah menjadi sesuatu yang lebih bernilai dan meningkatkan efisiensi,” jelasnya.

Lebih lanjut Wiluyo menyampaikan, bahwa pemanfaatan biomassa juga sebagai langkah jangka pendek yang dilakukan PLN dalam mengurangi emisi karbon.

Karena program co-firing tidak memerlukan investasi, untuk pembangunan pembangkit baru dan hanya mengoptimalkan biaya operasional untuk pembelian biomassa.

“Program ini ditargetkan rata-rata menggunakan 10-20 persen dari kapasitas PLTU kami untuk co-firing atau ekuivalen sekitar 2.700 megawatt,” terangnya.

Baca juga: Kementerian ESDM Bangun Strategi Peningkatan Penggunaan EBT

Saat ini, PLN juga melakukan kerja sama dengan Perhutani dan PT Perkebunan Nusantara guna memastikan pasokan biomassa secara jangka panjang.

Hingga 2025, PLN membutuhkan sekitar 10,2 juta ton biomassa untuk menjadi substitusi 10 persen kebutuhan batu bara di PLTU.

Melalui kerja sama dengan sesama BUMN ini, Perhutani akan memasok kebutuhan biomassa dengan proyek percontohan 11.500 ton per tahun untuk PLTU Pelabuhan Ratu di Jawa Barat.

Sedangkan untuk PLTU Rembang, Perhutani akan memasok 14.300 ton per tahun serbuk kayu kaliandra dan gamal. Melalui skema bisnis yang sama, Perhutani akan membangun pabrik pengolahan di wilayah Rembang.

Sedangkan Perkebunan Nusantara mengestimasikan dapat menyuplai 500 ribu ton tandan kosong segar kepada PLN dan angka tersebut dapat berkembang hingga 750 ribu ton per tahun pada 2024 sesuai dengan Rencana Jangka Panjang Perusahaan Perkebunan Nusantara.