Jelang Sidang MKMK, Kumpulan Guru Besar dan Pengajar Hukum Tata Negara Desak Sanksi Berat Anwar Usman

Kurnia Ramadhana Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) (Foto: Dok.IG Kurnia Ramadhana)

Jakarta – Menjelang sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terkait dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi pada Selasa (31/10/2023), atas dikabulkannya gugatan usia capres-cawapres beberapa waktu lalu, ada 16 Guru Besar yang mendesak sanksi berat bagi Anwar Usman.

Dilansir dari TribunKaltim, sebanyak 16 orang yang terdiri dari Guru Besar serta Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara melaporkan dan mendesak Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK menjatuhkan sanksi berat.

Berikut daftar Ke-16 Guru Besar serta Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara ini tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS);

  1. Prof. H. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D,
  2. Prof. Dr. Hj. Hesti Armiwulan, S.H., M.Hum,C.M.C,
  3. Prof. Muchamad Ali Safaat, S.H, M.H,
  4. Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D,
  5. Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum,
  6. Dr. Auliya Khasanofa, S.H., M.H,
  7. Dr. Dhia Al Uyun, S.H., M.H,
  8. Dr. Herdiansyah Hamzah, S.H., LL.M.
  9. Dr. Herlambang P. Wiratraman, S.H, M.H,
  10. Iwan Satriawan, S.H., MCL., Ph.D,
  11. Richo Andi Wibowo, S.H., LL.M., Ph.D,
  12. Dr. Yance Arizona, S.H., M.H., M.A,
  13. Beni Kurnia Illahi, S.H., M.H,
  14. Bivitri Susanti, S.H., LL.M,
  15. Feri Amsari, S.H., M.H., LL.M,
  16. Warkhatun Najidah, S.H., M.H.

Kurnia Ramadhana Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam keterangan tertulisnya, Kamis (26/10/2023) mengatakan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah dicoreng marwahnya selaku penjaga konstitusi oleh ketuanya sendiri, Hakim Konstitusi Anwar Usman.

Bukan tanpa alasan, kata Kurnia, melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, Anwar Usman selaku Ketua MK diduga kuat membiarkan lembaganya menjadi alat politik pragmatis dengan secara serampangan mengubah persyaratan batas umur minimal 40 tahun bagi calon presiden dan wakil presiden yang tertuang dalam UU Pemilu.

“Sehingga dapat dilangkahi apabila yang mencalonkan diri pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah,” jelas Kurnia.

Kurnia berpendapat, MK harusnya menolak perkara yang materi pokoknya berkenaan dengan open legal policy dan seharusnya menjadi ranah dari pembentuk undang-undang.

Sayangnya, lanjut Kurnia, MK malah justru mengabulkan dengan pertimbangan hukum yang tidak konsisten dengan putusan terdahulu serta ratio decidendi yang tidak mumpuni.

“Terlebih, ia secara terang benderang menolak untuk mengelola konflik kepentingan yang ia pribadi miliki dengan penerima manfaat paling besar dari permohonan tersebut, kemenakannya sendiri, dengan tidak mengundurkan diri dari penanganan perkara,” ucap Kurnia.

“Apa yang dilakukan oleh Anwar Usman juga meneguhkan banyak temuan serta asumsi yang mensinyalir MK sebagai lembaga yudikatif yang seharusnya independen, telah tersandera (court captured) oleh cabang kekuasaan lain, termasuk oleh kepentingan elite oligarki,” jelas Kurnia.(*)