Perjalanan Pembentukan dan Sejarah Mahkamah Konstitusi

Gedung Mahkamah Konstitusi. (Foto:Dok/MK)

HAI SAHABAT ULASAN. Baru-baru ini Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi sorotan publik karena mengabulkan sebagian gugatan tentang syarat calon presiden dan wakil presiden.

Keputusan MK yang dipimpin Anwar Usman itu dinilai mencederai netralitas lembaga peradilan itu, apalagi dikaitkan dengan kepentingan Joko Widodo yang digadang-gadang mendorong Wali Kota Solo, Gibran untuk mendampingi Prabowo pada Pilpres 2024.

Anwar yang merupakan adik ipar Joko Widodo bersama beberapa hakim MK lainnya dinilai memberi lampu hijau agar Gibran yang belum berusia 40 tahun untuk menjadi cawapres, dengan mengabulkan permohonan batas usia minumum capres dan cawapres minimal 40 tahun, kecuali yang pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.

Bermuara dari polemik itu, tentu Sahabat Ulasan ingin mengetahui sejarah lembaga ini.

Dilansir dari Mahkamah Konstitusi RI, berikut ulasannya.

Proses terbentuknya Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan pengadopsian konsep MK (Mahkamah Konstitusi) melalui amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001.

Hal ini tercantum dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada tanggal 9 Nopember 2001.

Pembentukan MK merupakan tonggak penting dalam perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.

Seiring dengan disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) untuk menjalankan fungsi MK sementara. Sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.

Kemudian, DPR bersama dengan Pemerintah merumuskan Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi.

Setelah melalui serangkaian pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah sepakat mengesahkan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13 Agustus 2003, yang kemudian diteken oleh Presiden pada hari yang sama (tercantum dalam Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).

Hanya dalam dua hari berikutnya, tepatnya tanggal 15 Agustus 2003, Presiden menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 yang menunjuk hakim-hakim konstitusi untuk pertama kalinya. Pelantikan ini dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003. Perjalanan MK selanjutnya ditandai dengan pelimpahan perkara dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 15 Oktober 2003, yang menandai dimulainya operasional MK sebagai satu dari cabang kekuasaan kehakiman sesuai ketentuan UUD 1945.

Kewenangan yang di Miliki Mahkamah Konstitusi

Ada empat kewenangan dan satu kewajiban Mahkamah Konstitusi yang telah ditentukan dalam UUD 1945 perubahan ketiga Pasal 24C ayat (1) yaitu:

  1. Menguji (judicial review) undang-undang terhadap UUD.
  2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD.
  3. Memutuskan pembubaran partai politik.
  4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
  5. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh presiden dan wakil presiden menurut UUD.

Dengan demikian ada empat kewenangan dan satu kewajiban konstitusional bagi Mahkamah Konstitusi. Pengadilan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan pengadilan tinggal pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Artinya, tidak ada upaya hukum lain atas putusan Mahkamah Konstitusi, seperti yang terjadi pada pengadilan lain.

Kasus-Kasus yang Masuk dalam Kewenangan Mahkamah Konstitusi

1. Sengketa Hasil Pemilihan Umum

Berdasarkan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, pemilihan umum bertujuan untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, presiden dan wakil presiden daerah. Terdapat tiga pihak yang dapat menjadi peserta dalam Pemilihan Umum, yaitu pasangan calon presiden/wakil presiden, partai politik yang mengikuti pemilihan umum untuk anggota DPR dan DPRD, serta individu calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Penyelenggara pemilihan umum adalah Komisi Pemilihan Umum yang diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (PANWASLU). Jika terjadi perbedaan pendapat antara peserta pemilihan umum dan penyelenggara yang tidak dapat diselesaikan secara mandiri, maka dapat diajukan proses peradilan ke Mahkamah Konstitusi.

Perselisihan yang diselesaikan di Mahkamah Konstitusi adalah perhitungan suara hasil pemilihan umum yang telah diumumkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum. Perbedaan suara ini mempengaruhi alokasi kursi yang diperebutkan. Apabila terbukti bahwa selisih suara tidak mempengaruhi alokasi kursi, maka permohonan akan ditolak. Namun, jika selisih suara berdampak signifikan dan terdapat bukti kuat, Mahkamah Konstitusi akan mengesahkan hasil suara yang benar. Ini akan berdampak pada alokasi kursi yang diperebutkan.

2. Pembubaran Partai Politik

Kebebasan berpartai politik adalah cermin dari kebebasan berserikat yang dijamin oleh Pasal 28 jo Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, setiap individu, sesuai dengan Undang-Undang, memiliki hak untuk mendirikan dan terlibat dalam kegiatan partai politik. Pembubaran partai politik oleh pihak selain partai politik itu sendiri dianggap sebagai tindakan yang bertentangan dengan konstitusi atau inkonstitusional.

Untuk memastikan perlindungan terhadap prinsip kebebasan berserikat, prosedur pembubaran partai politik harus melalui proses peradilan konstitusi. Pemerintah memiliki hak untuk mengajukan tuntutan pembubaran partai politik. Keputusan apakah dalil-dalil yang digunakan sebagai alasan tuntutan pembubaran partai politik benar atau tidak adalah wewenang Mahkamah Konstitusi.

Dengan mekanisme ini, kemerdekaan berserikat yang dijamin oleh UUD tidak akan dilanggar oleh para pemimpin politik yang juga merupakan anggota partai politik yang mungkin memenangkan pemilihan umum. Ini juga mencegah penindasan partai politik yang kalah dalam persaingan politik menuju pemilihan umum berikutnya.

3. Penuntutan Pertanggungjawaban Presiden/Wakil Presiden

Menurut UUD 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban untuk memutuskan pendapat DPR tentang apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, atau tindak pidana serius lainnya. Hal ini juga termasuk apakah DPR berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai pejabat publik.

Penting untuk diingat bahwa Mahkamah Konstitusi bukan lembaga yang memiliki kewenangan untuk memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden. Kewenangan untuk memberhentikan dan memilih penggantinya ada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Mahkamah Konstitusi hanya menentukan apakah pendapat DPR tentang pelanggaran hukum atau kelayakan masih memenuhi persyaratan konstitusional atau tidak. Jika terbukti benar, DPR dapat melanjutkan langkahnya untuk mengajukan usul pemberhentian kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai bukti hukum atas pelanggaran hukum atau kelayakan adalah final dan mengikat. DPR dan MPR tidak memiliki kewenangan untuk mengubah putusan final Mahkamah Konstitusi dan harus menghormati dan mengakui keabsahan putusan tersebut. Namun, kewenangan untuk mengajukan tuntutan pemberhentian tetap berada di tangan DPR. Dan kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden tetap di tangan MPR.

Meskipun demikian, ada kemungkinan bahwa DPR atau MPR tidak melanjutkan proses pemberhentian sebagaimana mestinya karena keduanya adalah forum politik yang dapat berubah-ubah. Namun, dalam hal putusan Mahkamah Konstitusi, keputusan tersebut bersifat final dalam konteks kewenangan Mahkamah Konstitusi sendiri.

4. Pengujian Undang-Undang dan Pemisahan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung

Salah satu kewenangan yang paling penting dari Mahkamah Konstitusi, adalah kewenangan untuk menguji konstitusionalitas undang-undang. Hal ini dilakukan dengan menggunakan Undang-Undang Dasar sebagai patokan. Pengujian dapat dilakukan baik dari segi materi maupun prosedur pembentukan undang-undang itu sendiri.

Sejarah pengujian undang-undang dimulai sejak kasus Marbury versus Madison pada tahun 1803 di Amerika Serikat. Ide ini mempengaruhi pembuat Undang-Undang Dasar Indonesia pada Sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945. Awalnya, ide pengujian undang-undang ditolak, namun sekarang, dengan empat kali perubahan pada UUD 1945, paradigma pemikiran telah berubah secara mendasar.

Sekarang, UUD 1945 tidak lagi mengenal supremasi parlemen seperti sebelumnya. Dengan Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, UUD 1945 memandang bahwa prinsip pemisahan kekuasaan antara cabang legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus diakui.

Karena pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR telah terjadi sejak Perubahan Pertama hingga Keempat. Maka harus diakui bahwa UUD 1945 sekarang menganut prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas. Semua argumen yang sebelumnya digunakan untuk menolak ide pengujian undang-undang sekarang sudah tidak relevan dan kewenangan ini menjadi integral dalam sistem ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD 1945.***

Ikuti Artikel Lainnya di Google News