Dibalik Invasi Rusia terhadap Ukraina

30 Hari Operasi Militer Khusus Rusia ke Ukraina
Tank bergerak ke kota, setelah Presiden Rusia Vladimir Putin mengizinkan operasi militer di Ukraina timur, di Mariupol, 24 Februari 2022. (ANTARA/Reuters/Carlos Barria/as)

JAKARTA – 24 Februari 2022, Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan akan melakukan operasi militer ke Ukraina. Sejak itu, sebanyak 198 orang dilaporkan tewas hingga 26 Februari lalu.

Dua tahun lalu, tepatnya pada akhir 2020, wilayah bekas Uni Soviet itu telah menjadi sorotan dunia akibat konflik berkepanjangan antara Armenia dan Azerbaijan.

Walaupun pada 2020 Rusia tidak turun langsung dan secara terang-terangan ikut dalam konflik ini dan pada akhirnya menjadi mediator dalam konflik tersebut, namun pada 2022 Rusia mengumumkan operasi militer dimana sejumlah wilayah di Ukraina, yakni Kyiv, Odessa, Kharkiv dan Mariupol diserang oleh militer dari jalur udara.

Lantas apa yang njadi persamaan antara dua peristiwa tragis di wilayah bekas Uni Soviet ini? Yang jelas terdapat persaingan antara Rusia dan Barat (AS, Uni Eropa, dan NATO) untuk mengimplementasikan ideologi politik mereka di wilayah bekas Uni Soviet.

Baca juga: Uni Eropa Perberat Sanksi Terhadap Rusia

Mengapa Ukraina begitu penting bagi Rusia?

Walaupun pada 1991 USSR telah bubar dan menjadi Rusia, diakui jika Rusia yang memiliki sejarah sebagai negara besar tidak ingin berpindah haluan begitu saja menjadi negara yang liberal dan demokratis.

Memang pada masa Presiden Mikhaïl Gorbatchev Rusia sempat condong ke Barat, hingga mencanangkan untuk membangun “The Common European Home” pada akhir 1980.

Ide ini kemudian disambut oleh Menteri Luar Negeri AS pada saat itu, James Baker, untuk membentuk suatu sistem keamanan yang terdapat di dalamnya AS, Eropa, dan Rusia.

Dapat dibayangkan, aliansi ini akan mencakup dari Vancouver, Kanada hingga Vladivostok, kota yang berada di wilayah Rusia Timur jauh.

Namun, Rusia memiliki satu kondisi untuk setuju terhadap rencana aliansi ini, dimana Rusia bisa tetap memiliki pengaruhnya di Eropa timur.

Rusia melakukan berbagai cara untuk menjaga wilayah bekas Uni Soviet tetap pada radarnya.

Baca juga: Pasukan Tank Rusia Konvoi Besar-besaran ke Kiev

Salah satunya adalah dengan dibentuknya Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CIS) pada 1991 dan perjanjian ini ditandatangani sebelas negara, yakni Armenia, Azerbaijan, Belarus, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Moldova, Rusia, Tajikistan, Turkmenistan, Ukraina, dan Uzbekistan melalui perjanjian Belavezh.

Di bawah Presiden Boris Yeltsin, organisasi ini memiliki tiga tujuan, yakni memperkuat CIS sebagai organisasi, mengonsolidasi hubungan negara anggota, dan memperkuat kerja sama bilateral antar anggota.

Dengan memiliki organisasi baru yang cukup menjanjikan, karena sebagian besar negara bekas Uni Soviet bergabung di dalamnya dan mendapat janji secara lisan dari AS bahwa NATO tidak akan memperluas pengaruhnya ke Eropa Timur, membuat Rusia cukup percaya diri untuk sementara waktu.

NATO sendiri, merupakan aliansi militer yang berisi negara-negara barat, dibentuk pada 1949 untuk menghadapi Uni Soviet pada saat itu.

Walaupun janji ini masih diperdebatkan hingga saat ini, namun Rusia menganggap hal ini sebagai sesuatu yang eksis dan nyata dan memang pada awalnya dipatuhi oleh Amerika Serikat.

Namun, pada 1999 NATO mengundang Polandia, Republik Ceko, dan Hungaria untuk bergabung. Hingga pada 2004, tujuh negara Eropa timur, yakni Bulgaria, Estonia, Latvia, Lithuania, Romania, Slovakia, dan Slovenia diminta George Bush untuk bergabung ke NATO.