Jumlah Profesor di Indonesia Hanya 2 Persen

Ilustrasi - Pergubi mencatat presentase guru besar hanya mencapai kurang dari 2%, atau kira-kira 5.478 profesor di Indonesia.
Ilustrasi - Pergubi mencatat presentase guru besar hanya mencapai kurang dari 2%, atau kira-kira 5.478 profesor di Indonesia. (Foto: Freepik/ulasan.co)

Hai Sahabat Ulasan, tahukah anda bahwa Persatuan Guru Besar Indonesia (Pergubi) mengungkapkan fakta yang menarik mengenai jumlah guru besar di Indonesia.

Dari data tahun 2022 yang tercatat, presentase guru besar hanya mencapai kurang dari 2%, atau kira-kira 5.478 profesor.

Prof. Arief, Sekretaris Jenderal Pergubi, menyampaikan pandangannya terkait implikasi dari jumlah guru besar yang terbatas ini. Dia menyoroti bahwa hal ini akan berdampak pada jumlah doktor yang terbentuk di masa mendatang.

Pasalnya, kurangnya jumlah guru besar berarti proses pengembangan profesor juga akan terhambat, mengingat untuk mendirikan program doktoral (S3), kampus wajib memiliki dua orang profesor.

Namun, sayangnya, kurangnya guru besar ini tidak diimbangi oleh kebijakan yang mempercepat pencapaian jumlah guru besar yang dibutuhkan. Bahkan, beberapa kebijakan justru cenderung menghambatnya.

Prof. Arief menjelaskan bahwa saat ini, dosen di perguruan tinggi cenderung didominasi oleh mereka yang memiliki gelar S2 dan berada pada jenjang jabatan di bawah Lektor, bahkan ada yang belum memiliki jabatan formal.

Hal ini juga dipengaruhi oleh tingginya jumlah dosen yang belum mendapatkan atau belum lulus sertifikasi dosen (serdos).

Kebijakan Sertifikasi Dosen Menjadi Penghambat?

Menurut Arief, kebijakan serdos yang berlaku saat ini sebenarnya lebih menghambat daripada memberi dukungan bagi para dosen.

Padahal, banyak di antara mereka yang sudah berdedikasi bertahun-tahun namun mengalami kesulitan dalam meningkatkan jenjang karir mereka.

Diketaui juga ada kebijakan baru yang sangat mengganggu para dosen, yaitu kebijakan sertifikasi dosen. Dahulu, bagi mereka yang telah berkontribusi besar dan memiliki tingkat kepangkatan tinggi seperti Lektor atau Doktor, hal ini dihitung dalam penilaian.

Sebagai contoh, tingkat gelar Doktor dinilai 5, sementara Lektor dinilai 4. Artinya, untuk lulus, mereka harus mencapai nilai 4,0. Hal ini memudahkan para dosen untuk mengurus sertifikasi.

Aturan beberapa tahun lalu, setelah memenuhi syarat untuk serdos, dosen harus mengikuti ujian TOEFL dan TPA. Banyak dari mereka yang menghadapi tantangan dengan 5-6 kali ujian dan tidak lulus.

“Oleh karena itu, diperlukan mekanisme afirmasi bagi mereka yang telah memberikan kontribusi besar,” terang Arief, seperti dilansir dari mediaindonesia.com.

Arief menyimpulkan bahwa hal ini menimbulkan pertentangan dengan arah kebijakan Menteri Nadiem Makarim yang ingin memberikan kebebasan di perguruan tinggi.

Kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) ternyata tidak memberikan kebebasan sejati yang diharapkan oleh para dosen. Sebaliknya, aturan seperti serdos justru menjadi penghalang dan memperlambat proses menuju kebebasan yang diinginkan.***

Ikuti Artikel Lainnya di Google News