Lakon Rezim di Tanah Rempang: Potensi Kehancuran Ekonomi (Bagian III)

Rempang
Suasana di pesisir pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. (Foto: Muhamad Ishlahuddin)

BATAM – Rencana relokasi ribuan warga Rempang dan Sembulang, Kecamatan Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri) akan turut berdampak pada ekonomi masyarakat.

Misalnya saja potensi kehancuran ekonomi akibat relokasi demi investasi PT Mega Elok Graha (MEG) dan Xinyi Group asal Cina sebesar Rp11,5 miliar USD.

Berpindah lokasi, tentu sangat berpengaruh bagi ekonomi ribuan masyarakat yang telah tinggal turun temurun di Rempang, Galang.

Penilaian itu muncul dari berbagai pihak mulai dari tokoh masyarakat, nelayan, peternak, dan petani.

Kekhawatiran Nelayan

Salah seorang tokoh masyarakat Kampung Monggak, Egoy mengungkapkan, sejatinya masyarakat Monggak mendukung investasi.

Akan tetapi, tidak dengan rencana relokasi pemerintah. Terlebih, masyarakat Rempang cukup banyak yang berprofesi sebagai nelayan.

Sebagai nelayan pinggir pantai, mata pencaharian warga pasti terpengaruh jika pindah ke darat atau lokasi lain.

“Masalah ekonomi kami, kalau dipindah kami terancam. Kehidupan kami di laut sebagai nelayan pantai. Rumah, perahu, hingga jaring kami di pinggir pantai,” ucap Egoy.

“Kalau pindah ke darat, ekonomi kami pasti melemah. Sedangkan ini saja kami sulit menyekolahkan anak-anak kami. Siapa tanggung jawab atas anak-anak kami,” tambahnya.

Senada dengan itu, Ketua RW setempat, Timo berterima kasih atas perhatian pemerintah selama ini.

Akan tetapi, warga sangat berharap pemerintah dapat mempertimbangkan nasib penduduk sekitar agar tak perlu relokasi.

“Atas nama seluruh masyarakat Monggak agar kampung kami peninggalan para leluhur sudah ratusan tahun. Mudah-mudahan kami tidak direlokasi,” ujarnya.

Ia melanjutkan, ratusan kehidupan warga akan terganggu bila harus pindah ke lokasi lain karena berkehidupan sebagai nelayan.

“Kami berharap ada yang terbaik. Ada pertimbangan. Kami kurang lebih ada 150 keluarga. Jumlah penduduknya 760 orang,” ucap Timo.

Baca Juga: Lakon Rezim di Tanah Rempang: Dugaan Intimidasi, Kriminalisasi, dan Pelanggaran HAM (Bagian-II)

Nasib Peternak dan Petani

Tak hanya nelayan, Pulau Rempang, Galang juga menjadi tempat mengais rezeki bagi ribuan peternak dan petani Kota Batam.

Berpindah lokasi bukanlah hal yang mudah bagi mereka yang sangat bergantung pada kondisi tanah, dan alam sekitar.

Himpunan Keluarga Tani Indonesia (HKTI) Kota Batam pun menaruh perhatiannya. Bahkan untuk menangani itu, HKTI Batam membentuk Tim Koordinator atau crisis centre bagi para petani dan peternak.

“Sejauh ini ada ribuan petani yang memperjuangkan hidupnya di sana,” kata Ketua Tim Koordinator HKTI Batam, Martahan Siahaan, Selasa (22/08).

Martahan menjelaskan, pihaknya selama ini tidak pernah mendapatkan sosialisasi perihal pembangunan tersebut. Oleh sebab itu, pihaknya merasa cemas akan kejelasan nasib mereka.

Namun, anehnya beberapa petani dan peternak telah menerima Surat Peringatan (SP) dengan waktu yang tidak wajar.

“Dengan adanya isu pembebasan lahan yang sejauh ini belum ada edukasi kepada petani. Petani saat ini sedang galau untuk mengerjakan pertaniannya,” ucapnya.

“Banyak yang dapat SP dari BP Batam. Antara SP 1 ke-2 hanya empat hari. SP 3 jaraknya seminggu. Jaraknya tidak manusiawi,” tambah Martahan.

Padahal, para petani telah berusaha di Pulau Rempang sejak belasan tahun lalu. Para petani menanam sejumlah komoditi mulai dari cabai hingga sayur yang memiliki pengaruh besar dalam pengendalian inflasi.

Salah seorang perwakilan peternak, Rika Sentosa juga menuturkan hal serupa.

“Kami juga termasuk investor. Meski pun investor lokal. Melibatkan banyak karyawan. Yang menjadi beban adalah tidak ada sosialisasi,” ujarnya.

Ditambah lagi dengan datangnya SP secara berturut-turut serta pemanggilan oleh pihak kepolisian dengan dugaan penyerobotan lahan.

Padahal untuk memindahkan ternak, mereka membutuhkan waktu dan persiapan yang matang.

Desakan HKTI

Munculnya rencana relokasi di Pulau Rempang, Galang, Kota Batam itu membuat HKTI tak bisa tinggal diam.

Ketua HKTI Batam, Gunawan Satary menegaskan, pihaknya tidak menolak adanya investasi dan pembangunan di Rempang.

“Pada prinsipnya kami tidak menolak pembangunan. Kami yakini akan memberikan nilai tambah untuk Batam,” tuturnya didampingi Oyong Wahyudi selaku penasihat hukum.

Akan tetapi, harus ada kejelasan terhadap nasib para pelaku usaha yang sudah menempati tempat itu sejak belasan tahun lalu.

Ia menjelaskan, para petani dan peternak itu juga telah berkontribusi untuk Kota Batam selama ini. Terutama dalam hal ketahanan pangan dan menjaga inflasi.

Oleh sebab itu, HKTI meminta BP Batam juga memberikan kejelasan pada para petani dan peternak itu.

“Permintaan kami ada dua. Bagaimana pemerintah bisa merelokasi usaha kami ke lokasi yang juga layak agar bisa melanjutkan usaha kami,” lanjutnya.

“Kedua, kami minta pemerintah memperhatikan bagaimana kami bisa membangun kembali usahanya. Tentu saja dengan ganti rugi atau untung,” tegas Gunawan.

Baca Juga: Lakon Rezim di Tanah Rempang: Kampung Tua di Ambang Musnah (Bagian-I)

Mempengaruhi Inflasi

Prediksi terpengaruhnya sektor ekonomi akibat relokasi warga Rempang juga keluar dari BI perwakilan Kepri.

“Dengan Relokasi secara tidak langsung akan mempengaruhi suplai kebutuhan pangan di Batam. Tentunya berkolerasi dengan inflasi,” kata Deputi Kepala Perwakilan BI Kepri, Adidoyo Prakoso.

Ia mengakui, isu relokasi tersebut juga menjadi materi pembahasan BI Kepri bersama Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) lainnya.

Adidoyo menegaskan, TPID telah mempersiapkan langkah antisipasi kenaikan angka inflasi jika relokasi itu benar-benar terjadi.

“Salah satunya, kerja sama antar daerah. Kepri selama ini sudah banyak bekerja sama dengan berbagai daerah. Itu salah satu langkah mengantisipasi inflasi,” tuturnya.

Sementara itu, Kepala BI Kepri mengungkapkan, tingkat inflasi di Kepri sejauh ini masih dalam tren positif.

Bahkan pada catatan terakhir, lanjut Suryono, tingkat inflasi di Kepri masuk dalam tingkat terbaik nasional.

“Di Mei Juni Juli year to day-nya kita terbaik nasional. Sampai dengan Juni baru 0,89,” ucap Suryono.

Suryono menjelaskan, sejauh ini catatan inflasi Kepri khususnya Batam menunjukkan tren yang positif. Padahal, Kepri bukan daerah penghasil.

Oleh sebab itu, Suryono menyakini TPID dapat mengantisipasi prediksi terpengaruhnya inflasi dari relokasi itu.

“Fungsi kerja sama antar daerah di Kepri sangat luar biasa. Terkait Rempang, saya pikir akan diantisipasi. Selama ini kita luar biasa dengan impor dari luar,” ucapnya.

Baca Juga: Warga Rempang Rela Tidur di Jalan Antisipasi Tim Terpadu Pasang Patok di Kampungnya

Janji BP Batam

Merespon berbagai keluhan serta keraguan nelayan, peternak, dan petani, BP Batam menjanjikan sejumlah hal untuk mereka.

Beberapa di antaranya bersentuhan langsung dengan kekuatan ekonomi masyarakat jika relokasi itu terlaksana.

Janji tersebut diucapkannya saat menemui para warga Kelurahan Sembulang dan Rempang Cate, Kecamatan Galang di Kantor Camat Galang.

Rudi menuturkan pihaknya akan mengambil sejumlah kebijakan agar masyarakat tidak merugi. Ia mengungkapkan, pihaknya akan memberikan lahan seluas 500 meter persegi dan satu unit rumah untuk setiap korban relokasi.

“Untuk lahan di bukit sudah kami batalkan. Kami siapkan lahan di tepi pantai untuk mengakomodir masyarakat yang rata-rata berprofesi sebagai nelayan,” ujarnya.

Bahkan kampung yang baru nanti akan menjadi kampung nelayan utama. Hasil pertemuan dengan Pemerintah pusat, lokasi itu nantinya tak jauh dari lokasi saat ini dan tetap menghadap ke laut.

Kemudian pihaknya akan membangun fasilitas lengkap sebagai Kampung Nelayan Utama seperti pelabuhan tempat bongkar ikan, pabrik es, lemari pendingin, hingga fasilitas lain termasuk SD hingga SMA.

“Membangun tentu perlu waktu. BP Batam sedang menyusun DED ulang karena tata letak dari kampung berubah ukuran dari 200 meter menjadi 500 meter per warga,” ujar Rudi yang juga sebagai Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam.

Bahkan selama relokasi, Pemko dan BP akan mengurus keperluan warga mulai dari tempat tinggal sementara hingga batuan layak seperti biaya sewa dan biaya hidup.

“Diperkirakan rumah yang akan dibangun selama enam bulan, sehingga waktu tunggu tidak lama,” ujarnya.

Rudi menegaskan, ia juga tak ingin masyarakat merugi karena investasi. Ia menginginkan kedua aspek itu berjalan beriringan yakni investasi masuk dan masyarakat dapat sejahtera.

“Lokasi yang kami siapkan nanti berjarak delapan kilometer dari jalan utama dan ada jalan selebar delapan meter dengan infrastruktur listrik hingga air bersih,” kata Rudi.

Kendati demikian, polemik relokasi ribuan warga Rempang masih berlanjut hingga berita ini terbit. Satu di antaranya ialah perihal ekonomi yang menjadi keresahan masyarakat.