BATAM – Museum Raja Ali Haji merupakan rumah khazanah dari masa ke masa Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri).
Bangunan museum merupakan bekas Astaka Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) Tingkat Nasional 2014 lalu
Museum itu menyimpan berbagai sejarah perjalanan kota berjuluk Bandar Madani.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Batam, Ardiwinata mengatakan, sejak 2020 lalu, Museum Raja Ali Haji telah beroperasi di bawah naungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Batam. Bertepatan dengan ulang tahun Batam ke-191 kala itu, Astaka MTQ tersebut resmi beralih fungsi menjadi Museum Raja Ali Haji yang berdiri kokoh di Dataran Engkuh Putri, Batam.
“Koleksi yang dipajang di museum ini adalah sejarah perjalanan Batam. Mulai dari zaman Nong Isa, di Kesultanan Riau-Lingga, masa masuknya Otorita Batam, dibentuknya pemerintahan administratif hingga berkembang seperti sekarang,” katanya, Ahad (02/10).
Di hari peresmian 2020 lalu, terdapat juga sesi pembukaan tirai sketsa wajah Raja Isa bin Raja Ali atau Nong Isa, orang pertama yang dipercaya Pemerintah Belanda memimpin Pulau Batam.
Nong Isa merupakan penerima mandat Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah dari Kesultanan Lingga, untuk memerintah kawasan Nongsa dan sekitarnya pada 18 Desember 1829 silam. Dari awal masuk ke museum itu, pengunjung akan disambut dengan miniatur kapal berbendera Belanda serta sejumlah lukisan dan foto bersejarah termasuk sketsa wajah Nong Isa.
Kemudian para pengunjung dapat melihat sejarah Kota Batam dari masa Kesultanan Riau-Lingga, masa pendudukan Belanda, Jepang, era kemerdekaan hingga saat ini.
Uniknya, terdapat satu segmen khusus Mantan Presiden Indonesia, Bj Habibie di museum. Tampak ponsel, berkas, hingga laptop yang digunakan Habibie saat berada di Kota Batam.
“Masa kemerdekaan, kotamadya administratif, ada segmen BJ Habibie seperti telepon yang digunakan beliau, laptop hingga salinan surat pengangkatannya menjadi Ketua Otorita Batam yang saat ini menjadi BP Batam,” lanjut Ardiwinata.
Selain itu, terdapat ruangan khusus khazanah Melayu, seperti pakaian, alat musik, hingga senjata khas kerajaan tempo dulu. Contohnya saja Marwas yakni alat musik tradisional yang dimainkan dengan cara ditepuk, Gendang anak digunakan untuk mengiringi tarian, serta Akordeon salah satu jenis alat musik pengiring lagu Melayu, khususnya Kepri.
Kemudian Cogan yakni salah satu alat kebesaran atau regalia yang dimiliki Kerajaan Johor Riau Lingga Pahang dan Jong berbentuk perahu atau miniatur layar yang melaju dengan tiupan angin.
“Selain alat musik ada juga berbagai jenis tanjak, seperti tanjak balung raja, dendam tak sudah kemudian ada tudung mantu untuk ibu-ibu atau wanita Melayu. Topeng Makyong Ini merupakan warisan budaya tak benda yang ada di Pulau Panjang, Batam,” tambahnya.
Tak lupa pula juga terdapat sejumlah koleksi pada masa pemerintahan Belanda seperti meriam yang dipindahkan dari Pulau Belakang Padang serta foto-foto monumen Tugu Jepang (Missebo) di Kampung Pasir Merah, Batam. Pulau Rempang-Galang yang sempat menjadi tempat penampungan 112,708 tentara Jepang tawanan sekutu yang berada di Singapura, Malaysia dan Indonesia tahun 1945-1946.
“Raja Ali Haji ini adalah museum kategori universal. Kehadirannya bertujuan merangsang serta memotivasi pihak lain untuk mendirikan museum tematik seperti museum kebudayan atau museum industri,” kata Ardiwinata.
Baca juga: Agen Travel ASEAN dan Asita Bahas Pariwisata di Batam
Museum Raja Ali Haji itu dapat dikunjungi kapan saja lantaran buka setiap hari dari jam 09.00 WIB hingga jam 17.00 WIB tanpa dipungut biaya alias gratis. Kentalnya sejarah dan nilai budaya dari museum tersebut, tentu menjadi alasan utama Museum Raja Ali Haji menjadi tempat yang wajib dikunjungi saat ke Kota Batam.
“Jadwal operasional bisa disesuaikan jika ada rencana kunjungan kelompok wisatawan. Hampir setiap bulan ada 3000an kunjungan. Travel agent mulai memasukkan museum ini menjadi ikon wisata. Kita pernah mendapatkan kunjungan atase militer 27 negara sahabat,” ujarnya. (*)