Pertaruhkan Kepercayaan Publik, Sebaiknya Sudahi Politik Disinformatif

Tanjungpinang, Ulasan.co – Belakangan ini silang pendapat berkaitan dengan pengisian jabatan Wakil Wali Kota Tanjungpinang mengemuka ke tengah publik. Ironisnya, pengisian jabatan yang seharusnya tuntas di level politik ini akan dapat berubah menjadi perbualan yang kontra-produktif di tengah-tengah masyarakat jika perilaku disinformatif semakin dipertontonkan. Hal ini disayangkan oleh Akademisi sekaligus Pengamat Ekonomi UMRAH Winata Wira, dalam satu kesempatan kepada sejumlah media baru-baru ini (15/3) yang lalu.

Menurut Wira, pengisian jabatan Wakil Walikota yang kosong harusnya menjadi sarana kolaborasi dan perluasan dukungan publik untuk melewati masa-masa yang krusial seperti sekarang dan bukan momentum untuk menyebarkan politik disinformatif. Saat ini saja beban pembangunan daerah semakin bertambah dengan terjadinya pandemik yang telah berdampak terhadap kegiatan ekonomi di masyarakat. Yang diperlukan masyarakat dari pemerintah kota adalah upayanya dalam memulihkan ekonomi yang setahun ini telah turun drastis di angka minus 3,4 persen. Bagaimana strateginya menjaga daya beli masyarakat, mengerem kemiskinan dan memperluas kolaborasi dan sinergi dengan berbagai pihak terutama mengangkat kembali sentimen positif dunia usaha untuk berinvestasi agar lapangan kerja kembali terbuka. Tumpuan percepatan pemulihan ekonomi ada dikolaborasi dan sinergi, jadi tak mungkin ada ruang untuk politik disinformatif.

“Bagaimana kepercayaan publik bisa tumbuh jika elitnya sengaja memainkan politik disinformatif atau hoaks. Jika tak ada kepercayaan publik tentu seterusnya sulit membangun kepercayaan dunia usaha,” tegasnya.

Terlebih lagi menurut Wira, politik disinformatif sangat bertolak belakang dengan fakta sebagian besar warga Tanjungpinang yang merupakan kalangan terdidik karena berakibat tersebarnya pembohongan dan kepura-puraan yang tidak pantas.

“Hentikanlah politik disinformatif semacam ini, sangat tidak berkelas untuk level literasi warga Tanjungpinang yang terbuka dan cerdas,” jelasnya lagi.

Wira menambahkan pula bahwa pengisian jabatan Wakil Wali Kota seharusnya bisa dimaksimalkan sebagai kabar gembira bagi masyarakat karena akan menyuplai sumber daya tambahan dalam upaya percepatan pemulihan ekonomi. Hal ini tentu menyangkut kepentingan masyarakat yang luas dan bukan lagi mengedepankan ego-ego politik semata.

“Masyarakat kadung percaya bahwa pemulihan ekonomi lebih membutuhkan komposisi kepemimpinan dan manajemen yang kuat, dibandingkan ego individual,” katanya.

Indikasi Politik Disinformatif

Secara gamblang Wira menjelaskan paling tidak ada sejumlah indikasi politik disinformatif yang terjadi. Pertama, mewacanakan pemilihan wakil walikota tidak dapat dilakukan sebelum ada PP. Kenyataannya, banyak yurisprudensi di berbagai daerah yang mematahkan argumen tersebut termasuk terpilihnya Wakil Gubernur Kepri Isdianto 2017 yang lalu.

“Kalaulah keterpilihan Pak Isdianto sebagai Wakil Gubernur Kepri dianggap bermasalah secara hukum karena tidak ada PP maka logikanya Wali Kota Tanjungpinang sudah mengundurkan diri kemarin-kemarin,” jelas Wira.

Selain itu, pengabaian terhadap arahan Gubernur dan Mendagri. Bahkan lembaga negara yang independen setaraf Ombudsman RI sudah pernah menyampaikan pertimbangan-pertimbangan kepada Wali Kota Tanjungpinang. Dari kronologi yang dipaparkan Ombudsman Kepri, terungkap adanya ketidakcocokan antara pernyataan Wali Kota Tanjungpinang dengan kenyataan yang sebenarnya. Indikasi-indikasi disinformatif lainnya seperti upaya menggiring wacana potensi friksi antara walikota dengan calon wakil walikota yang telah diajukan parpol. Upaya tersebut sangat tidak etis dan tidak elok karena mengingkari norma prosedural yang ditetapkan UU dan akhirnya menjadi alasan dibalik tertundanya pengisian Wakil Walikota Tanjungpinang.

“Tapi ini lucu saja, belum terpilih sudah dibilang tidak cocok. Harusnya confident saja dengan kapasitas dan wewenang yang sudah diberikan oleh UU” ujar Wira.

Yang lebih memprihatinkan, tertundanya pemilihan wakil wali kota dikaitkan dengan belum tuntasnya komunikasi terkait politik 2024. Bahkan ada politik proksi yang menyampaikan syarat bahwa Calon Wakil Walikota harus siap untuk tidak mencalonkan diri di 2024 dan bersedia tetap menjadi pasangan calon wakil walikota jika diminta.

“Saya rasa masyarakat hari ini sudah melek politik kan, menjabat saja yang baik sampai 2023, nanti masyarakat akan menilai sendiri. Ini belum apa-apa sudah bicara 2024, apa tidak malu dengan suasana pandemi begini. Sudah jelas itu dapurnya parpol, bukan gawean pemerintahan daerah,” ucap Wira.

Lanjutnya, tudingan tidak adanya komunikasi antara Walikota dan Parpol pengusung berimbas pada pernyataan Walikota sendiri yang mengatakan ingin merekrut Wakilnya dari unsur non-politisi di luar yang telah diajukan oleh gabungan parpol pengusung.

“Saya yakin Walikota faham bahwa statemen beliau diperdengarkan secara luas, dan tentulah pernyataan seperti itu bukan untuk segmen bercanda,” ucap Wira lagi.

Menurut Wira, jika Walikota memang bermaksud untuk melibatkan publik sebagai bentuk pendidikan politik, maka hal tersebut patut diapresiasi tapi tentunya harus melalui saluran dan mekanisme yang disepakati bersama-sama karena bukan bagian dari tahapan prosedural yang dipersyaratkan UU. Misalkan dengan melibatkan perguruan tinggi yang independen dan netral untuk menguji kapabilitas masing-masing calon wakil yang telah diusulkan, bukan malah mencari-cari nama lain dari yang telah diusulkan parpol.