Refleksi Tahun Baru Masehi: Pudarnya Syiar Islam

Refleksi Tahun Baru Masehi: Pudarnya Syiar Islam
Syukur Abdillah Ketua Umum HMI Komisariat Syariah Walisongo Semarang.

Penulis: Syukur Abdillah
Ketua Umum HMI Komisariat Syariah Walisongo Semarang

Tahun 2021 akan segera berganti dengan tahun 2022. Maka salah satu momen yang istimewa menurut sebagian besar penduduk bumi ini adalah tahun baru Masehi. Seluruh dunia akan menselebrasikan event besar tahunan ini, meskipun zona waktu mereka berbeda tapi tetap merasakan kebahagiaan bersama.

Setahun yang lalu, pasti setiap individu memiliki cerita dan pengalaman masing-masing. Sebenarnya, berlalunya satu tahun bisa saja membawa makna yang berbeda bagi setiap kita. Tahun baru ada yang menganggap hidupnya akan bertambah satu tahun lagi. Namun, ada juga yang menganggap bahwa jatah hidupnya telah berkurang satu tahun.

Ya begitulah hidup. Hidup ini terus berjalan dan mengalir. Hari terus berganti. Bulan tak hentinya berlalu, dan tahun terus bertambah pada waktunya tanpa pernah terlambat dan tidak dapat diulang kembali. Begitulah siklus hidup ini berjalan.

Sejarah Tahun Baru Masehi

Seperti yang telah dikutip dalam it-teens.weebly.com, Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM.

Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.

Saat ini, tahun baru 1 Januari telah dijadikan sebagai salah satu hari suci umat Kristen. Namun kenyataannya, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga dunia.

Pada mulanya, perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari. Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut.

Baca juga: Refleksikan Semangat Kemerdekaan, GMKI Tanjungpinang-Bintan Gelar Seminar Kepemudaan

Sedangkan menurut kepercayaan orang Jerman, jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year’s Eve di tanggal 1 Januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama setahun penuh.

Bagi orang kristen yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi.

Pada tanggal 1 Januari orang-orang Amerika mengunjungi sanak saudara dan teman-teman atau nonton televisi: Parade Bunga Tournament of Roses sebelum lomba futbol Amerika Rose Bowl dilangsungkan di Kalifornia; atau Orange Bowl di Florida; Cotton Bowl di Texas; atau Sugar Bowl di Lousiana.

Di Amerika Serikat, kebanyakan perayaan dilakukan malam sebelum tahun baru, pada tanggal 31 Desember, di mana orang-orang pergi ke pesta atau menonton program televisi dari Times Square di jantung kota New York, di mana banyak orang berkumpul. Pada saat lonceng tengah malam berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan dan orang-orang menerikkan “Selamat Tahun Baru” dan menyanyikan Auld Lang Syne. Di negara-negara lain, termasuk Indonesia? Sama saja!

Bagi orang Islam, ada apa dengan tahun baru Masehi?

Bagi orang Islam, merayakan tahun baru Masehi, tentu saja akan semakin ikut andil dalam menghapus jejak-jejak sejarah Islam yang hebat. Tidak dapat dipungkiri, jika pesta, gemuruh sorak sorai, suara terompet akan meriuh rendah, dan semarak kembang api akan meletup dan melingkupi bumi ini. Begitu juga sebagian besar ummat Islam pasti turut serta di dalamnya.

Melihat sejarah, pandangan Islam serta adat Islami dalam masyarakat, tidak ada celah sedikit pun bagi umat Islam untuk ikut merayakan atau sekadar untuk mengucapkan “happy new years”. Pada kenyataannya, pada malam tahun baru dihiasi dengan berbagai hiburan yang menarik dan sayang untuk dilewatkan. Muda-mudi tumpah ruah di jalanan, berkumpul di pusat kota menunggu pukul 00.00, yang seolah-olah dalam pandangan sebagian orang “Eman” untuk dilewatkan.

Baca juga: Alumni Akpol 1998 Gelar Refleksi Kebangsaan dan Doa Bersama Virtual

Saat ini, sudah sepantasnya umat Islam menghidupkan kembali syiar-syiar Islam. Jika tidak tradisi Islam akan tergerus tanpa ada yang peduli. Toh, kita semua ini manusia yang harus taat dan menjunjung tinggi aturan Allah. Tidak ada alasan untuk menafikan syiar-syiar Islam. Pantaskah kita menenggelamkan syiar Islam dan menghidupkan syiar budaya Barat?

Maka ditinjau dari Hadis Sahih al-Bukhari dan Muslim berikut ini, sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Sesungguhnya bagi setiap kaum (agama) ada perayaannya dan hari ini (Idul adha) adalah perayaan kita”. Oleh Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan maksud hadis tersebut bahwa dilarang melahirkan rasa gembira pada perayaan kaum musyrikin dan meniru mereka (dalam perayaan). (Fathul Bari, 3/371).

Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari raya ataupun hari besar, dan hari raya syar’i tidak akan ada gunanya.

Sangat disesalkan, ada sebagian kaum muslimin berupaya menghindar dari peringatan Tahun Baru Masehi, namun mereka terjerumus pada kemungkaran lain yaitu memperingati Tahun Baru Islam. Lebih disesalkan lagi, ada yang terjatuh kepada dua kemungkaran sekaligus, yaitu peringatan Tahun Baru Masehi sekaligus peringatan Tahun Baru Islam.

Refleksi Tahun Baru Masehi

Maka di penghujung tahun 2012 M ini, setiap manusia khususnya ummat Islam hendaknya mampu merefleksikan diri untuk menghadapi tahun baru Masehi. Sebagaimana kata Sokrates, hidup yang tidak direfleksikan, tidak pantas untuk dihidupi.

Adapun dalam paduan konsep Parmenides dan Heraclitus, mengucapkan Selamat Tahun Baru yang linier dalam siklus yang lama. Selamat menyambut semua yang baru dan selamat memandang dan memperbaharui semua yang lama. Semoga segala sesuatu nantinya menjadi lebih baik, lebih sukses, lebih kokoh, lebih teguh, lebih menenangkan, lebih damai, lebih mantap dan lebih bahagia.

Hal ini senada dengan kaidah “Al-Muhafadhotu Alal Qodimis Sholeh Wal Akhdu Bil Jadidil Ashlah” (memelihara budaya-budaya klasik yang baik dan mengambil budaya-budaya yang baru yang konstruktif), maka Islam dalam perjalanannya senantiasa melakukan upaya-upaya perbaikan dan kontektualisasi dalam merekonstruksi pemikiran dan kebiasaan-kebiasaan yang tidak sepadan dengan tradisi dan ajaran syariat Islam.

Hemat saya, tidaklah termasuk ummat Islam yang benar jika hanya bisa ikut-ikutan tanpa mengacu dasar yang jelas. Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang meniru suatu kaum maka dia termasuk dari mereka.” (HR. Abu Daud yang dishahihkan oleh Ibnu Hibban)

Usaha-usaha ke arah pembaharuan dan modernisasi memang sebuah konsekuensi dari sebuah dunia yang modern. Derasnya arus globalisasi tidaklah jadi pantas tuk dijadikan sebuah alasan. Karena yang terpenting adalah keharusan mampu menempatkan diri dalam posisi yang strategis, yaitu pada ajaran Islam yang benar. Wallahu a’lam bi as-showwaab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *