Tahun Baru Imlek: Sejarah, Tradisi hingga Perayaan di Indonesia

Tahun Baru Imlek: Sejarah, Tradisi hingga Perayaan di Indonesia
Sembahyang Tahun Baru Imlek di Vihara Bahtra Sasana, Jalan Merdeka, Kota Tanjungpinang, Sabtu (28/1) Foto: Albet

Tanjungpinang – Tahun Baru Imlek atau Tahun Baru China jatuh pada 1 Februari 2022. Tradisi yang dirayakan oleh masyarakat etnis Tionghoa itu dilaksanakan hampir di seluruh dunia sebagai ungkapan syukur dan harapan akan rezeki pada tahun yang dilewati, termasuk di Indonesia.

Perayaan Tahun Baru Imlek awalnya sebuah perayaan petani di China untuk menyambut pergantian musim dingin ke musim semi. Perayaan itu sering disebut Sin Cia atau festival musim semi yang berlangsung dari tanggal 1 pertama (1 Cia Gwee) dan akhir tanggal 15 bulan pertama.

Berbagai kegiatan yang dilakukan seperti sembahyang imlek, makan bersama keluarga, saling mengunjungi kerabat, hingga perayaan Cap Go Meh. Perayaan ini bertujuan untuk menjamu leluhur dan bersilaturami.

Baca juga: Sambut Tahun Baru Imlek 2022, Vihara Budhi Bakti Pasang 500 Lampion

Sejarah

Di Indonesia, perayaan Imlek telah melalui sejarah panjang. Sempat dilarang oleh pemerintahan Orde Baru. Sebab, di masa itu, siapa pun yang berusaha membawakan atraksi kesenian berbau budaya China bisa dituduh subversif atau gerakan dalam usaha atau rencana menjatuhkan kekuasaan yang sah dengan menggunakan cara di luar undang-undang.

Jangankan di tempat publik, bahkan di lingkungan sendiri pun, warga keturunan China sering dipersulit ketika akan menggelar upacara adat. Penyebabnya adalah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 yang turut mengekang kebebasan warga keturunan China.

Namun, di era Presiden Abdurrahman Wahid atau dikenal Gus Dur, aturan itu dicabut. Gus Dur pun mengeluarkan keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 tertanggal 17 Janbuari tentang pencabutan aturan sebelumnya. Perayaan Imlek digelar secara bebas.

Arief Budiman, seorang aktivis sekaligus akademisi yang banyak menyoroti persoalan sosial, menyatakan pangkal dari peraturan itu adalah rivalitas antara Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Baca juga: Vihara Bahtra Sasana Siap Menyambut Perayaan Tahun Baru Imlek 2022

Kala itu, PKI punya hubungan erat dengan Republik Rakyat China. Kemudian atas dasar itu, kata Arief, Soeharto dengan sesuka hatinya mengidentikkan komunis dengan China. Padahal, itu adalah hal yang berbeda.

Masih dalam buku itu, meskipun Inpres tersebut masih memperbolehkan pesta agama dan adat asal tidak mencolok dan digelar di lingkungan intern, namun pada praktiknya, aparat kantor sosial sering punya tafsir sendiri.

Berdasarkan pengalaman sutradara teater N. Riantiarno kala mementaskan Sampek Engtay pada tahun 1988 di Jakarta. Saat hendak mementaskan itu, ia nyaris dilarang badan intel.

Menurut Riantiarno, yang hendak ia tampilkan adalah drama percintaan bukan cerita politik. Izin akhirnya turun tetapi ada syarat yang tidak boleh dilakukan, yakni tidak boleh ada huruf China, tak boleh membakar hio, dan yang terakhir, liong (naga) hanya boleh ditaruh di dalam gedung.

Hal itu masih jauh lebih beruntung daripada kejadian di Medan. Sebab, polisi melarang pentas itu dengan alasan belum mendapat izin dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat.

Padahal, sepuluh izin dari instansi lain sudah selesai. Bahkan, Departemen Penerangan kala itu juga turut melarang penayangan orang sembahyang di kelenteng, aksi barongsai atau penggunaan bahasa Cina di layar Cina.

Menurut Ishadi, eks Direktur Jenderal RTF (Radio, Televisi dan Film) yang berkembang saat itu adalah pemikiran dogmat satu arah.

“Pelarangan itu dimaksudkan untuk mendorong orang-orang Cina di sini melupakan budaya mereka agar mereka mudah masuk dan beradaptasi dengan budaya kita,” kata Ishadi.