Etika dan Profesionalisme Jurnalis dalam Pemilu 2024

Kegiatan workshop jurnalistik di Pelangi Hotel dan Resort Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau. (Foto: Muhammad Bunga Ashab)

TANJUNGPINANG – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Tanjungpinang menggelar workshop jurnalistik untuk puluhan jurnalis di Pelangi Hotel dan Resort Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, Jumat (06/10).

Workshop jurnalistik ini mengusung tema “Etika dan Profesionalisme” tentang Pemilu 2024 dengan menghadirkan narasumber Mantan Ketua AJI Abdul Manan dan Badan Penguji AJI Sunarti Sain.

Manan menyampaikan, jurnalis wajib melaksanakan tugas liputan pemilu. AJI memiliki 57 pasal kode perilaku, yang sebagian berhubungan dengan pemilu. Pemilu ini akan menentukan nasib selama lima tahun atau bahkan lebih.

“Apakah pemilu itu penting? Saya pikir itu tidak perlu diperdebatkan lagi karena kita dapat merasakannya,” kata Manan saat memberikan materi.

Amanat profesi kepada jurnalis setidaknya ada tiga peran dalam pemilu berdasarkan UU Nomor 40 tahun 1999 yakni edukasi, kontrol sosial, dan informatif.

Fungsi edukasi seperti mendorong pemilih yang cerdas, misalnya memberitahu publik soal kompetensi peserta pemilu maupun calon presiden dan wakil presiden.

Jangan hanya menyampaikan pesan normatif dari peserta pemilu, namun perlu mendalami juga soal isu krusial. Misalkan soal polemik Pulau Rempang.

“Publik berhak tahu janji atau visi dan misi peserta,” katanya.

Latar belakang peserta pemilu juga perlu diumumkan. Media massa “menelanjangi” peserta pemilu sehingga pemilu dapat memilih dalam kondisi sadar.

Dalam menerapkan fungsi kontrol sosial, kata dia jurnalis wajib meliput soal teknis kepemiluan, misalkan proses kampanye apakah ada kebijakan yang lemah, penyelenggara yang tidak netral hingga pengawasan terhadap proses penghitungan suara.

“Fungsi informatif lebih mirip seperti peran kehumasan dalam menyiarkan informasi penting,” ujarnya.

Selanjutnya, Manan menyampaikan, ada beberapa isu krusial liputan pemilu, yakni hati-hati dengan bias, misinformasi dan disinformasi, akses informasi, sumber daya, dan keamanan.

“Ini lima isu krusial yang terjadi saat liputan dalam pemilu,” ujarnya.

Lanjut Manan, dari 57 pasal kode perilaku AJI, ada enam pasal penting berkaitan dengan aspek sikap dalam liputan isu pemilu. Aspek sikap ini penting menjadi pedoman wartawan. Pertama, Pasal 2 anggota AJI menolak segala bentuk intervensi ruang redaksi pemilik modal, pejabat bidang bisnis, dan interaksi dalam menerapkan prinsip-prinsip jurnalistik.

Pasal 3, anggota AJI tidak menjadi anggota dan pengurus partai politik, dan tidak menjadi tim sukses atau tim pemenangan orang atau lembaga yang terlibat dalam politik praktis. Pasal 4, anggota AJI tidak menggunakan kostum lembaga, organisasi, atau partai yang ia liput. Tindakan untuk menghindari munculnya persepsi bahwa ia bukan jurnalis yang bisa bekerja secara independen.

Keempat, Pasal 10 anggota AJI tidak terlibat dalam politik praktis yang bisa membahayakan independensinya. Antara lain dengan menjadi tim sukses secara resmi atau tidak, konsultan, penulis naskah siaran pers, foto, video, buku, pengelola media sosial untuk kepentingan kampanye politik praktis atau kegiatan sejenisnya.

Kelima, Pasal 19 anggota AJI menghormati prinsip “pagar api” dengan tidak menggunakan pemberitaan dan iklan. Keenam, Pasal 25 anggota AJI menerapkan prinsip imparsial, adil (fair), dan berpikiran terbuka. Prinsip ini berdasarkan pada kesadaran bahwa kebenaran bisa datang dari mana saja. Termasuk dari pihak yang tidak IA sukai.

“Sebagai sikap independen sikap yang dipakai menjadi dasar melakukan atau tidak melakukan sesuatu,. Tujuan jurnalisme menemukan kebenaran dan melayani kepentingan,” ujarnya.

Selanjutnya, Manan menyampaikan, aspek penting lainnya, aspek perilaku pada Pasal 26 Anggota AJI melakukan verifikasi untuk mendapatkan fakta dan data yang akurat. Salah satu caranya adalah dengan selalu menguji dan memeriksa ulang informasi dan data dengan pengecekan di lapangan atau mengkonfirmasi kepada sumber kompeten.

Pasal 28 Anggota AJI memisahkan fakta dengan opini dalam menulis berita. Pasal 34 Anggota AJI tidak berbohong dan tidak membuat berita palsu. Jurnalis dapat dianggap berbohong jika mempublikasikan fakta atau data yang tidak ada, atau membuat berita yang sudah diketahui sebelumnya bahwa itu tidak sesuai dengan fakta. Pasal 44 Anggota AJI tidak melakukan plagiarisme yaitu mengklaim karya orang lain sebagai karya sendiri (baik tulisan, maupun foto, audio, dan video).

Selanjutnya, aspek publikasi pada Pasal 49 anggota AJI tidak melakukan perbuatan, membuat karya dan/atau menyampaikan secara terbuka sikap kebencian, prasangka, merendahkan, diskriminasi dalam masalah suku, ras, bangsa, gender, orientasi seksual, bahasa, agama, pandangan politik, orang berkebutuhan khusus, atau latar belakang sosial lainnya.

Pasal 55 anggota AJI bersikap bijak dan hati-hati dalam mengutip pernyataan narasumber di media sosial, pertemuan langsung, atau percakapan dengan seseorang yang tidak untuk konsumsi khusus pers. Anggota AJI harus menyampaikan dan meminta izin jika ingin mengutip pernyataan narasumber untuk berita.

“Saya kira pemilu ini konsen yang sangat besar, harus berhati-hati dalam media sosial,” katanya. “Panduan dari kode perilaku itu bagian dari misi memperjuangkan hak publik termasuk dalam pemilu. bagian dari menguatkan demokrasi,” ujarnya.

Jurnalis di tengah ancaman jerat hukum

Badan Penguji AJI Sunarti Sain mengulas terkait profesionalisme jurnalis di tengah ancaman jerat hukum.

“Ada banyak kawan-kawan dipanggil karena berita dan diperiksa polisi. Seharunya itu tidak, kalau berkaitan dengan berita cukup lihat saja beritanya,” katanya.

Ada beberapa undang-undang dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP baru), seperti UU ITE, UU Perlindungan Data Pribadi
(PDP) 2022 dapat menjerat jurnalis seperti membocorkan rahasia negara, hankam, penghinaan kepala negara, permusuhan, penghinaan pemerintah, dan lain sebagainya.

“Selanjutnya penghinaan golongan/penodaan agama, penghasutan, pelanggaran kesusilaan/p ornografi, pencemaran nama baik dan berita bohong/palsu,” ujarnya.

Namun, untuk terhindar dari jeratan hukum saat menjalankan tugas jurnalistik.

“Saya dengar di Kepri banyak kasus berkaitan dengan pemberitaan. Kawan-kawan harus hati-hati dan cermat, karena KUHP bisa saja menjerat kita,” katanya.

“Agar terhindar jerat hukum dengan taat dan patuh kepada KEJ, KE AJI dan Kode Perilaku,” ujarnya lagi.

Ia menyampaikan profesi jurnalis, profesi yang terbuka karena semua bisa masuk. Jurnalis tidak ada hanya tahu menulis, tetapi memiliki kesadaran, pengetahuan, keterampilan.

“Kita harus bertanggung jawab, apa yang kita lakukan, apa yang kita kerjakan sehari-hari,” ujarnya.