Penjelasan Jampidum Terkait Pembangunan Kampung Restoratif Justice

Penjelasan Jampidum Terkait Pembangunan Kampung Restoratif Justice
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Dr. Fadil Zumhana (Foto: Puspenkum)

Jakarta – Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Dr. Fadil Zumhana memberikan penjelasan mengenai mengasah kearifan lokal dalam penegakan hukum dalam rangka membangun Kampung Restorative Justice.

Hukum adat dan kearifan lokal jati diri bangsa Indonesia tertuang dalam Pasal 18B UUD 1945 secara tegas mengakui keberadaan hukum adat sebagai salah satu sumber hukum tidak tertulis yang berlaku di Indonesia, sebagai bukti dari pengakuan keberadaan hukum adat tersebut, Pemerintah telah menetapkan UU Drt Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil, yang mengakui keberadaan sanksi pidana adat untuk dijadikan pidana pokok oleh hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perbuatan yang menurut hukum yang hidup (living law) dianggap sebagai tindak pidana yang tiada bandingnya dalam KUHP.

Van Vollenhoven telah mengelompokkan hukum adat Indonesia ke dalam 19 Lingkungan Hukum Adat yang terdiri dari Lingkungan Hukum Adat : Aceh; Tanah Gayo, Alas dan Batak; Daerah Minangkabau dan Mentawai; Sumatera Selatan; Daerah Melayu; Bangka dan Belitung; Kalimantan; Minahasa / Manado; Gorontalo; Tana Toraja; Sulawesi Selatan; Kepulauan Ternate; Maluku – Ambon; Papua; Kepulauan Timor; Bali dan Lombok; Bagian Tengah Jawa, Jawa Timur dan Madura; Solo-Yogyakarta; dan Lingkungan Hukum Adat Jawa Barat (Parahyangan, Tanah Sunda, Jakarta serta Banten).
Keseluruhan lingkungan hukum adat tersebut memiliki karakteristik sendiri yang mencerminkan nilai-nilai budaya masyarakat lokal yang sangat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat.

“Hukum adat diterima oleh masyarakat sebagai norma yang dipatuhi, sehingga setiap terjadi sengketa perselisihan dalam bentuk apapun (baik pidana atau perdata), tindakan penyelesaian yang diambil oleh tokoh adat selalu diterima oleh masyarakat tanpa ada keberatan dari pihak manapun,” kata Jampidum dalam keteranga tertulisnya diterima, Rabu (02/02).

Efektifitas Hukum Adat

Hukum adat pada hakekatnya merupakan bukti dari adanya kearifan lokal bangsa Indonesia, memiliki nilai-nilai yang sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Terkadang jauh lebih efektif dalam menyelesaikan setiap terjadinya perselisihan di kalangan masyarakat Indonesia, dibandingkan dengan hukum formil baik hukum pidana maupun perdata yang berlaku selama ini.

Hukum adat memiliki sifat-sifat antara lain hukum adat memiliki sifat kosmis yang menyatukan masyarakat, baik dengan sesama anggota masyarakat, maupun antara masyarakat dengan alam semesta. Hukum adat sangat terbuka untuk setiap peristiwa yang terjadi, sehingga dapat mengadili semua sengketa yang terjadi dalam masyarakat tanpa dibatasi oleh aturan yang bersifat formil dan tertulis.

Selanjutnya, sanksi hukum adat dijatuhkan tidak hanya terhadap pelaku tetapi dapat juga dijatuhkan kepada kerabat atau keluarganya. Bahkan dapat juga dijatuhkan kepada masyarakat yang bersangkutan untuk mengembalikan keseimbangan kosmis yang terganggu akibat adanya peristiwa atau sengketa dalam masyarakat.

Baca juga: RUU KUHP, Antara Restorative Justice dan Pidana Mati

Putusan tokoh adat terhadap setiap sengketa yang terjadi dalam masyarakat selalu dianggap sebagai putusan yang benar dan terbaik, sehingga dipatuhi oleh semua pihak, baik para pihak yang bersengketa, keluarga para pihak maupun masyarakat sekitar.

Putusan atas sengketa/perselisihan dalam masyarakat yang diselesaikan berdasarkan hukum adat, baik sengketa/perselisihan yang bersifat pidana atau perdata, hampir selalu diterima oleh pelaku, korban dan/atau pihak yang bersengketa tanpa ada keberatan, karena putusan tersebut selalu diambil oleh para tokoh adat dengan melibatkan para pihak yang bersengketa, keluarga serta masyarakat sekitar terjadinya perselisihan, sehingga mencerminkan rasa keadilan yang bersifat universal, karena tidak hanya diterima oleh masyarakat, tetapi juga dianggap diterima oleh alam.