Penjelasan Jampidum Terkait Pembangunan Kampung Restoratif Justice

Penjelasan Jampidum Terkait Pembangunan Kampung Restoratif Justice
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Dr. Fadil Zumhana (Foto: Puspenkum)

Optimalisasi Penerapan Hukum Adat Dalam Penegakan Hukum di Indonesia

Dalam perkembangan penegakan hukum saat ini, proses penegakan hukum yang bertujuan untuk memberikan keadilan retributive atau distributive saat ini telah bergeser menjadi pemulihan kepada keadaan semula / keadilan restoratif (restorative justice).

Prinsip keadilan restoratif tersebut pada hakekatnya sangat sejalan dengan penegakkan hukum adat yang bertujuan mengembalikan keseimbangan kosmis yang terganggu akibat adanya sengketa atau kejahatan dimasyarakat.

Dalam proses penegakkan hukum pidana, seringkali putusan yang dijatuhkan hakim mendapat perlawanan dalam bentuk pengajuan banding oleh terdakwa ataupun oleh Jaksa yang merasa bahwa putusan tersebut tidak mencerminkan keadilan. Hal berbeda terjadi dalam proses peradilan adat, hampir semua putusan peradilan adat diterima tanpa adanya keberatan dari para pihak, karena putusan tersebut pada hakekatnya diambil bersama-sama antara pelaku dan korban dengan disaksikan dan melibatkan tokoh adat serta masyarakat setempat, sehingga putusan tersebut sangat mencerminkan keadilan, baik rasa keadilan pelaku, korban maupun masyarakat.

Prinsip peradilan adat tersebut pada hekekatnya sangat sejalan dengan mekanisme Restorative Justice yang saat ini dikembangkan oleh Jaksa Agung, sehingga perlu diberdayakan dan diterapkan dalam penyelesaian perkara-perkara yang ringan sifatnya.

Penyelesaian Perkara berdasarkan Keadilan Restoratif

Sejalan dengan perkembangan arah penegakan hukum untuk mewujudkan keadilan restoratif tersebut, pada tanggal 21 Juli 2020, Jaksa Agung Republik Indonesia telah menetapkan Peraturan Kejaksaan tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang mengambil metode penyelesaian perkara berdasarkan kearifan lokal sesuai norma-norma serta nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang dikenal dengan istilah hukum adat (landsrecht).

Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice) merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan masyarakat/pihak lain yang terkait, untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Restorative justice hanya dilakukan dengan memperhatikan adanya kepentingan korban dan kepentingan hukum lain yang harus dilindungi, penghindaran stigma negatif dan pembalasan, serta dalam rangka menjaga keharmonisan masyarakat, berdasarkan nilai-nilai kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum, yang dalam hukum adat (landsrecht/adatrecht) dilakukan dalam rangka untuk menjaga keseimbangan kosmis.

Namun demikian, tidak semua perkara pidana dapat diselesaikan melalui penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, ada beberapa pertimbangan yang menentukan dapat tidaknya suatu perkara dihentikan berdasarkan restorative justice, yaitu : subyek, obyek, katagori dan ancaman tindak pidana, latar belakang terjadinya/dilakukannya tindak pidana, tingkat ketercelaan atau kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana, cost and benefit apabila perkara dilakukan penuntutan serta adanya pemulihan kembali pada keadaan semula dan perdamaian antara korban dengan tersangka.

Dalam penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, perdamaian merupakan syarat mutlak yang tidak bisa diabaikan oleh Jaksa. Tanpa adanya perdamaian yang dilakukan dengan melibatkan keluarga pelaku dan korban serta masyarakat sekitar, maka penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif tidak dapat dilakukan.

Model penyelesaian perkara di luar persidangan tersebut merupakan tugas dan tanggung jaksa sebagai dominus litis yang perlu dikembangkan dan diberdayakan secara massive.

Jampidum menjelaskan, Kampung Restorative Justice atau Keadilan Restoratif, sebagai cermin pelaksanaan hukum adat. Berdasarkan hasil evaluasi, sebagian perkara yang masuk ke pengadilan merupakan perkara yang ringan sifatnya, yang terjadi dalam masyarakat akibat adanya tekanan ekonomi atau akibat perselisihan anggota masyarakat, yang sebenarnya dapat diselesaikan diluar persidangan.

Dalam rangka optimalisasi pelaksanaan penyelesaian perkara di luar persidangan (mediasi penal) berdasarkan keadilan restoratif, maka kejaksaan perlu segera mensosialisasikan pembentukan kampung keadilan restoratif (Kampung Restorative Justice) agar masyarakat secara aktif dapat dilibatkan oleh Kejaksaaan untuk menjaga keseimbangan kosmis yang merupakan nilai luhur budaya bangsa Indonesia.

Beberapa manfaat yang dapat diambil dari pembentukan Kampung Restorative Justice adalah mengurangi beban Aparat Penegak Hukum (APH) dalam proses penyelesaian perkara di pengadilan, sehingga APH bisa lebih fokus menangani perkara-perkara yang besar dan sulit pembuktiannya, mengganggu ketertiban umum, merugikan negara dan/atau masyarakat luas. Meningkatkan keterlibatan seluruh elemen masyarakat agar lebih peka terhadap permasalahan yang terjadi di lingkungannya serta berperan aktif dalam penyelesaian setiap permasalahan yang terjadi.

Kemudian memberikan penyelesaian perkara yang menghasilkan keputusan yang diterima oleh semua pihak, dengan mengembalikan pada kondisi semula secara harmoni, tanpa menimbulkan stigma negatif dan pembalasan.

“Dalam rangka optimalisasi program Restorative Justice, pembentukan kampung Restorative Justice perlu lebih digencarkan lagi oleh Kejaksaan di seluruh Indonesia, dengan memberikan pelatihan kepada para Jaksa dalam penyelesaian perkara melalui pendekatan keadilan restoratif yang lebih humanis,” katanya. (*)

Dilihat 2535