Tradisi Mandi Safar Sebagai Warisan Budaya yang Masih Dipertahankan di Desa Sungai Unggar Utara kepulauan Riau

Mandi safar merupakan salah satu tradisi lama yang masih dilaksanakan di beberapa wilayah di Indonesia, salah satunya di Kepulauan Riau. Tradisi ini dilaksanakan setiap tahunnya pada bulan safar. Pelaksanan yang dilakukan pada bulan tersebut merujuk pada peristiwa yang pernah menimpa para Nabi di masa lalu. Adapun peristiwa yang terjadi sering dialami di Bulan Safar.

Selain itu, dalam sejarahnya tradisi mandi safar ini di Kepulauan Riau, sudah dilaksanakan pada zaman kesultanan Riau-Lingga sejak tahun 1883-1911, pada masa Sultan Abdulrahman Muazamsyah. Kesultanan Lingga ini merupakan salah satu Kerajaan Islam yang mana mencakup Wilayah provinsi Kepulauan Riau. Kesultanan ini didominasi oleh masyarakat Melayu yang mayoritas beragama Islam.

Masyarakat Melayu adalah masyarakat yang dikenal sangat menjunjung tinggi perihal agama. Oleh karena itu tradisi dan budaya pada masa Kesultanan Riau-Lingga itu selaras dengan agama Islam. Mandi safar dilakukan karena mereka mempercayai soal kepercayaan Umat Islam terdahulu yang menganggap bahwa bulan Safar adalah bulan diturunkannya bala atau kesialan.

Di masa sekarang, tradisi tersebut masih dilaksanakan di beberapa wilayah di Kepulauan Riau. Meskipun dalam serumpun tanah yang sama, pelaksanaan tradisi mandi Safar tersebut akan berbeda-beda di setiap wilayah yang melaksanakannya. Hal ini dipengaruhi oleh asimilasi maupun akulturasi budaya. Meski terdapat perbedaan dalam segi pelaksanaannya hal ini tidak mengubah maksud dan tujuan dari tradisi itu dilakukan.

Di Desa Sungai Ungar Utara, Kundur, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, Tradisi ini masih dipertahankan di sebagian kalangan masyarakat. Hal itu terjadi karena Karimun dulunya merupakan daerah kekuasaan kerajaan Riau-Lingga.

Pelaksanaan tradisi mandi Safar biasanya dilaksanakan pada hari rabu terakhir pada bulan Safar. Dalam segi pelaksanaannya, umumnya tradisi mandi safar dilaksanakan dengan melakukan suatu perayaan yang mencakup masyarakat umum di suatu wilayah. Namun berdasarkan data yang diperoleh dari narasumber, di desa Sungai Ungar Utara pelaksanaan tradisi ini justru dilakukan secara individu per-keluarga masing-masing. Hal ini dikarenakan hanya sebagian masyarakat desa yang masih mempercayai dan melaksanakan tradisi tersebut.

Bagi masyarakat desa Sungai Ungar Utara yang masih mempertahankan tradisi ini, pelaksanaan tradisi mandi safar tersebut dilakukan dengan beberapa amalan, salah satunya yaitu mandi menggunakan kertas yang direndam dalam air. Kertas tersebut bertuliskan do’a-do’a amalan rabu akhir di bulan Safar. Sebagian ada juga yang hanya melafazkan do’a sebelum mereka menyiramkan air ke seluruh bagian tubuh.

Selain amalan tersebut, amalan lainnya yang turut di lakukan yaitu merendamkan kertas yang berisi do’a atau perajahan kedalam wadah air untuk diminum. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menolak bala atau kesialan.

Kebiasaan lain yang juga merupakan salah satu bagian dari tradisi mandi Safar yang biasanya turut dilaksanakan adalah kegiatan do’a selamat. Biasanya kegiatan do’a selamat atau kenduri do’a selamat dilakukan oleh keluarga atau orang-orang yang memiliki anggota keluarga yang lahir pada bulan Safar.
Do’a selamat yang dilakukan memiliki tujuan agar anggota keluarga yang lahir pada bulan tersebut selamat dari segala bala atau malapetaka. Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat mempercayai bahwa bulan Safar atau bulan kedua dalam kalender Islam ini sebagai bulan yang penuh malapetaka atau mengandung keburukan atau kesialan.

Pelaksanaan kenduri do’a selamat biasanya di awali dengan tradisi pembacaan do’a oleh ustadz dan penjamuan sederhana yang biasanya dihadiri oleh tetangga dan kerabat terdekat. Namun, dikarenakan kondisi pandemi covid-19 yang tengah merajalela pada tahun ini menyebabkan pelaksanaan kenduri do’a selamat yang merupakan bagian dari tradisi mandi safar ini tidak dapat dilakukan seperti biasanya. Hal ini disebabkan kondisi di saat pandemi covid-19 tidak memungkinkan untuk melakukan suatu acara yang sifatnya menimbulkan keramaian masyarakat.

Himbauan untuk senantiasa menjaga jarak dan hindari keramaian di tengah pandemi covid-19 ini menyebabkan tradisi mandi Safar yang dilaksanakan oleh masyarakat desa tersebut tidak dapat dilakukan seperti biasanya. Tradisi mandi Safar tetap dilaksanakan, namun hanya sebatas ritual mandi Safar saja. Sedangkan untuk kegiatan do’a selamat tidak dapat dilaksanakan seperti biasanya, demi mengindahkan protokol kesehatan dan himbauan dari pemerintah untuk keselamatan bersama.

Penulis:
Dian Rahmawati
Universitas Riau, Pendidikan Sejarah

Narasumber:
Mashurah, 44 Tahun