20 Tahun Kepri, Perlu 20 Tahun Mengejar Ketimpangan

Robby Patria
Robby Patria (Foto: Muhammad Chairuddin)

Oleh : Robby Patria

Direktur Perwakilan Public Trust Intitute Kepulauan Riau

Provinsi Kepulauan Riau sudah memasuki usia 20 tahun. Kalau usia manusia di 20 tahun sedang memasuki semester akhir di bangku kuliah. Sudah empat kali juga provinsi ini melaksanakan pilkada mulai dari 2005, 2010, 2015 dan terakhir 2020. Kesenjangan antardaerah kian menganga. Tak heran muncul wacana keinginan membentuk Provinsi Natuna-Anambas.

Bisa jadi karena memang rentang kendali yang jauh dan proses pembangunan tak banyak menyentuh dua kabupaten penghasil migas itu.

Kesenjangan menganga itu kita bisa bandingkan melalui Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia(IPM) yang dipakai pemerintah untuk mengukur kemajuan pembangunan dari pelbagai sektor.

Dan pemerintah menggunakan IPM untuk menilai kemajuan suatu daerah. Karena IPM disusun oleh tiga dimensi dasar, yaitu umur yang panjang dan hidup yang sehat (a long and healthy life), pengetahuan (knowledge), dan standard hidup yang layak (decent standard of living).

Umur yang panjang dan hidup yang sehat digambarkan oleh Angka Harapan Hidup saat lahir (AHH), yaitu jumlah
tahun yang diharapkan dapat dicapai oleh bayi yang baru lahir untuk dapat bertahan hidup. Semakin panjang usia warga maka akan semakin baik.

Kemudian indikator pengetahuan dilihat dari Rata-rata Lama Sekolah (RLS) dan Harapan Lama Sekolah (HLS). RLS adalah rata-rata lamanya (tahun) penduduk usia 25 tahun ke atas yang telah atau sedang menjalani pendidikan formal.

HLS dapat didefinisikan sebagai lamanya (tahun) sekolah formal yang diharapkan akan dirasakan oleh anak pada umur tertentu (7 tahun) pada masa mendatang. Sedangkan standar hidup yang layak digambarkan oleh pengeluaran per kapita yang ditentukan dari nilai pengeluaran per kapita dan paritas daya beli (purchasing power parity).

Otomatis, semakin kaya warga, maka akan mendorong IPM akan bertambah besar. Karena warga sejahtera.

Maka, untuk melihat keberhasilan proses pembangunan yang dilakukan oleh kepala daerah, maka sangat mudah. Lihat saja IPM daerah tersebut. IPM dapat menggambarkan sebuah wilayah dapat dikatakan maju, atau berkembang atau
terbelakang.

Untuk di Kepri berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), IPM tertinggi di Batam di angka 81,12. Kemudian disusul Tanjungpinang di angka 78,93. Setelah Tanjungpinang ada Bintan 74,57, Natuna IPM 73,09, Karimun 71,70, Anambas 69,23 dan terakhir IPM Lingga di angka 65,83.

Jika kita lihat, perbaikan angka IPM di Lingga mulai dari 2019 ke 2021 tidak banyak meloncat. Misalnya IPM Lingga 2019 64,98, kemudian 2020 65,29 dan tahun 2021 IPM Lingga naik di 65,83. Jika dilihat angka pertumbuhan yang tidak sampai 1, maka perlu 20 tahun lebih IPM Lingga mengejar IPM Batam saat ini. Dan untuk mengejar IPM Provinsi Kepri yang berada di angka 75,79, perlu sekitar 10 tahun lebih.

Dengan komposisi IPM yang jauh tertinggal dibandingkan Batam dan Tanjungpinang, maka pemerintah provinsi dan kabupaten perlu memiliki strategi yang tepat dalam menentukan kebijakan pemerataan pembangunan terutama yang terkait IPM.

Dan gubernur bersama DPRD harus juga membagi kue pembangunan lebih maksimal ke daerah yang IPM nya masih rendah di bawah IPM provinsi. Pembangunan yang mendorong peningkatan kualitas sektor pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat harus mutlak didorong daerah tersebut.

Kita setidaknya perlu mengikuti saran dari Gary Becker, peraih Nobel bidang Ekonomi dari Universitas kesohor Chicago. Ia menyatakan pentingnya pembangunan human capital. Singapura negara tetangga Kepri mengutamakan pembangunan sumber daya manusia karena mereka sadar tidak memiliki sumber daya alam.

Walaupun tidak sebanding antara IPM Singapura yang sudah di 93 dengan IPM Indonesia 72,29, setidaknya kita bisa melihat bagaimana negara kecil itu bisa mengembangkan pendidikan dan kesehatan menjadi hal yang utama. Singapura bisa maju walau tanpa hasil kekayaan alam disebabkan mereka mampu mengembangkan ekonomi melalui sumber daya manusia yang handal. Mereka mengandalkan sektor jasa untuk meningkatkan penghasilan negara.

Di Singapura, pembangunan human capital diutamakan. Tidaklah mengherankan jika kualitas pendidikan di Singapura dari perguruan tinggi menempati peringkat bagus di dunia.

Posisi Indonesia jauh di bawah Singapura. Pemerintah masih berupaya untuk memperbaiki prestasi pendidikan Indonesia.

Kita bisa lihar data yang dirilis oleh United Nations Development Programme (UNDP-PBB) yang selalu mengeluarkan data HDI atau IPM untuk seluruh negara-negara di dunia. Tahun 2020 sepuluh negara yang tercatat memiliki nilai HDI tertinggi adalah Norwegia dengan HDI sebesar 0,954, Swiss 0,946, Finlandia 0,942, Jerman 0,939, Hongkong 0,939, Australia 0,938, Islandia 0,938, Swedia 0,937 dan Singapura 0,935.

Kita bisa juga melihat IPM negara lain yang perlu dicatat adalah Amerika Serikat pada urutan nomor 15, Jepang pada urutan nomor 19, Malaysia pada urutan nomor 61, Thailand pada urutan nomor 77 dan Filipina pada urutan nomor 106. Indonesia yang pernah berada pada urutan nomor 105, pada HDI tahun 2020 sebagai hasil rata-rata pada tahun 2019 berada pada urutan nomor 111.