Hukum internasional merupakan rangkaian berupa aturan, norma, dan prinsip yang mengatur hubungan antara negara-negara serta aktor-aktor lain dalam komunitas global, seperti organisasi internasional, perusahaan multinasional, dan individu.
Dalam beberapa dekade terakhir, tantangan global seperti sebuah perubahan iklim, terorisme internasional, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan perkembangan teknologi telah menguji fleksibilitas dan relevansi hukum internasional dalam menjaga keadilan dan stabilitas global.
Dalam konteks kontemporer, hukum internasional terus menerus menghadapi tantangan dalam menegakkan norma-norma hak asasi manusia (HAM). Sementara dokumen seperti Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan perjanjian lainnya telah menjadi dasar bagi banyak negara untuk mengadopsi perlindungan HAM, realitas geopolitik dan transformasi sosial global menciptakan tantangan baru.
Pelanggaran HAM yang terus berlanjut hingga saat ini munculnya sebuah ancaman baru seperti perubahan iklim dan teknologi digital, serta dinamika kekuasaan global memberikan dimensi baru dalam analisis hukum internasional dan HAM.
1. Pelanggaran HAM dalam Geopolitik Kontemporer
Meskipun rezim HAM telah terus berkembang, pelanggaran sistemik tetap menjadi sorotan utama. Contoh-contoh kontemporer seperti krisis Uyghur di Tiongkok, invasi Rusia kepada Ukraina, serta penindasan di Myanmar menunjukkan bagaimana negara-negara sering menggunakan konsep kedaulatan untuk menghindari tanggung jawab internasional. Dalam banyak kasus, prinsip non-intervensi di bawah Piagam PBB penulis menduga ada sabotase aturan guna melindungi kebijakan domestik yang melanggar HAM.
Di sisi lain, Dewan Keamanan PBB sebagai institusi utama yang bertugas menjaga perdamaian dan keamanan internasional, sangat seringkali terjadi sebuah hambatan oleh veto negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok. Ketidakmampuan Dewan Keamanan bertindak secara kolektif terhadap isu-isu ini menunjukkan lemahnya sistem multilateral dalam menghadapi dinamika geopolitik modern saat ini.
2. Tantangan Besar HAM di Era Teknologi Digital
Era teknologi digital sudah menciptakan peluang sekaligus tantangan baru bagi perlindungan HAM. Sebuah teknologi pengawasan, misalnya, telah digunakan oleh pemerintah untuk membatasi kebebasan berpendapat dan privasi warga negara. Kasus-kasus seperti penggunaan teknologi pengawasan oleh pemerintah Tiongkok terhadap minoritas Uyghur menunjukkan bagaimana teknologi dapat menjadi alat untuk memperkuat kontrol negara atas individu.
Selain itu, munculnya platform media sosial juga menimbulkan dilema baru. Di satu sisi, platform ini menyediakan ruang bagi kebebasan berekspresi, tetapi di sisi lain, mereka sering digunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian, disinformasi, dan radikalisasi. Dalam konteks ini, hukum internasional belum memiliki kerangka kerja yang memadai untuk mengatur dampak HAM dari teknologi digital.
3. Perubahan Iklim sebagai Krisis HAM Global
Perubahan iklim yang telah terindentifikasi sebagai salah satu tantangan terbesar bagi HAM di abad ke-21. Dampak besar, seperti bencana alam yang lebih sering terjadi, naiknya permukaan laut, dan kekurangan sumber daya, telah mempengaruhi hak-hak dasar seperti kehidupan, kesehatan, dan tempat tinggal. Negara-negara yang rentan terhadap perubahan iklim, seperti pulau-pulau kecil di Pasifik, sering kali menjadi korban dari kebijakan industri oleh negara-negara maju.
Hukum internasional telah merespons melalui perjanjian seperti Paris Agreement, tetapi pendekatannya lebih berfokus pada mitigasi dan adaptasi lingkungan, bukan pada perlindungan HAM secara langsung. Di era ini, penting untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip HAM ke dalam kebijakan perubahan iklim global untuk melindungi kelompok yang paling rentan.
4. Menuju Mekanisme Akuntabilitas yang Inovatif
Ketegangan antara kedaulatan negara dan kewajiban internasional tetap menjadi kendala utama dalam penegakan HAM. Dalam sebuah konteks, komunitas internasional sangat perlu menciptakan mekanisme baru yang dapat mengatasi tantangan kontemporer, seperti:
– Pendekatan Multistakeholder Pelibatan aktor non-negara melibatkan organisasi masyarakat sipil, sektor swasta, dan individu, agar dapat membantu memperkuat implementasi norma HAM. Teknologi blockchain, misalnya, dapat digunakan untuk melacak pelanggaran HAM secara lebih transparan.
– Meningkatkan Peran Pengadilan Regional Pengadilan regional seperti European Court of Human Rights (ECHR) telah menunjukkan keberhasilannya dalam menegakkan HAM di tingkat regional. Pendekatan serupa dapat diperkuat di kawasan lain, seperti Asia Tenggara, guna mengatasi pelanggaran yang spesifik terhadap konteks lokal.
– Sanksi Terarah dan Diplomasi HAM Alih-alih intervensi militer, sanksi yang terarah, seperti pembekuan aset individu yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM, dapat menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan akuntabilitas. Pada saat yang sama, diplomasi HAM dapat digunakan untuk memfasilitasi dialog dan reformasi domestik.
Integrasi HAM dalam Hukum Internasional dan Tantangan Penerapannya
Meskipun hukum internasional telah mencapai kemajuan signifikan dalam merumuskan norma dan prinsip perlindungan hak asasi manusia (HAM), dalam pelaksanaannya masih sering menghadapi sebuah kendala besar.
Ketegangan antara prinsip kedaulatan negara dan kewajiban internasional untuk melindungi HAM sering menjadi penghalang utama. Opini ini menyoroti dari dua aspek tambahan yang relevan terkait, ketidakmerataan implementasi HAM internasional, keterkaitan HAM dengan dinamika kekuasaan global, serta Penguatan Akuntabilitas tanpa Melanggar Kedaulatan.
1. Ketidakmerataan Implementasi Rezim HAM
Salah satu kelemahan mendasar dalam sistem HAM internasional ialah dengan adanya ketidakmerataan implementasi di tingkat nasional dan regional. Negara-negara berkembang seringkali menghadapi kendala struktural, seperti kurangnya sumber daya dan infrastruktur hukum, yang menghambat pelaksanaan perjanjian HAM internasional. Seperti banyaknya negara di Afrika dan Asia telah meratifikasi ICCPR dan ICESCR, pelanggaran HAM yang serius tetap terjadi, baik karena lemahnya penegakan hukum maupun korupsi sistemik.
Sebaliknya, sebuah negara maju yang sering dipandang lebih taat terhadap rezim HAM, meskipun mereka juga menghadapi kritik atas pelanggaran tertentu, seperti perlakuan terhadap migran dan kebijakan anti-terorisme yang membatasi kebebasan sipil. Isu seperti perlakuan buruk terhadap imigran di perbatasan AS-Meksiko atau diskriminasi sistemik di beberapa negara Eropa menunjukkan bahwa komitmen terhadap HAM tidak selalu sejalan dengan praktik domestik.
Kesenjangan ini menyoroti perlunya pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis konteks dalam hukum internasional. Penguatan kerja sama regional melalui organisasi seperti Uni Afrika atau ASEAN dapat menjadi cara untuk mendekatkan standar HAM internasional dengan implementasi lokal.
2. Keterkaitan HAM dengan Dinamika Kekuasaan Global
HAM sering menjadi alat dalam politik kekuasaan global. Negara-negara kuat dapat menggunakan isu HAM sebagai alasan untuk mempengaruhi negara lain, baik melalui intervensi langsung maupun tekanan diplomatik. Hal ini menimbulkan tantangan dalam menjaga netralitas dan integritas hukum internasional.
Misalnya, intervensi militer di Libya pada 2011 dilakukan atas dasar doktrin Responsibility to Protect (R2P) untuk melindungi warga sipil dari kekerasan oleh pemerintah. Namun, intervensi tersebut akhirnya menciptakan kekacauan politik yang berlanjut hingga kini, memunculkan kritik bahwa tindakan tersebut lebih didorong oleh kepentingan geopolitik daripada perlindungan HAM.
Sebaliknya, pelanggaran HAM di negara-negara besar seperti Tiongkok dan Rusia sering tidak mendapat respons tegas dari komunitas internasional, sebagian besar karena kekuatan veto mereka di Dewan Keamanan PBB. Ketimpangan ini menimbulkan skeptisisme terhadap hukum internasional sebagai instrumen keadilan universal.
3. Penguatan Akuntabilitas tanpa Melanggar Kedaulatan
Dalam mengatasi ketegangan antara kedaulatan negara dan kewajiban internasional, perlu adanya pendekatan inovatif yang menekankan akuntabilitas tanpa mengesampingkan prinsip non-intervensi. Beberapa langkah yang dapat dipertimbangkan meliputi:
– Memperkuat Peran Organisasi Regional Organisasi regional seperti ASEAN, Uni Afrika, dan Uni Eropa dapat memainkan peran penting dalam menengahi dan menegakkan standar HAM di kawasan mereka. Karena kedekatan geografis dan kultural, organisasi ini cenderung lebih diterima oleh negara anggota dibandingkan badan internasional seperti ICC.
– Mekanisme Pengawasan Multistakeholder Pendekatan yang melibatkan negara, masyarakat sipil, dan sektor swasta dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan standar HAM. Misalnya, Universal Periodic Review (UPR) oleh Dewan HAM PBB dapat diperluas untuk melibatkan aktor-aktor non-pemerintah.
– Sanksi Internasional yang Lebih Terukur Sanksi ekonomi atau diplomatik terhadap negara pelanggar HAM dapat diterapkan secara selektif untuk meminimalkan dampak terhadap warga sipil. Dalam kasus Myanmar, embargo senjata dan pembatasan akses pejabat tinggi ke sistem perbankan global dapat menjadi langkah yang efektif.
Berdasarkan uraian di atas hukum internasional dan HAM wajib terus berkembang untuk menghadapi tantangan dunia yang semakin kompleks. Perspektif kontemporer menunjukkan bahwa pelanggaran HAM kini tidak hanya disebabkan oleh konflik bersenjata, tetapi juga oleh dinamika baru seperti teknologi digital dan perubahan iklim.
Untuk merespons tantangan ini komunitas internasional perlu mengadopsi pendekatan yang lebih adaptif dan inovatif, sambil terus menegaskan pentingnya akuntabilitas tanpa melanggar kedaulatan negara. Upaya kolektif ini akan menentukan relevansi dan efektivitas hukum internasional di masa depan.
Hukum internasional memiliki fondasi yang kuat untuk melindungi HAM, tetapi tantangan implementasi menunjukkan perlunya reformasi yang berkelanjutan. Ketegangan antara kedaulatan negara dan perlindungan HAM universal mencerminkan kompleksitas tatanan global. Solusi yang inklusif, berbasis konteks, dan bebas dari bias geopolitik diperlukan untuk menjembatani kesenjangan ini, sehingga hukum internasional dapat berfungsi sebagai penjaga keadilan universal. (*)
Penulis: Adiya Prama Rivaldi/Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Maritim Raja Ali Haji
Ikuti Berita Ulasan.co di Google News