Kisruh Perwako TPP, Ini Saran Akademisi untuk DPRD dan Wali Kota Rahma

Kisruh Perwako TPP, Ini Saran Akadamisi untuk DPRD dan Wali Kota Rahma
Arsip - Wali Kota Tanjungpinang Rahma. (Foto: Albet)

Tanjungpinang – Kisruh antara DPRD Kota Tanjungpinang dengan Wali Kota Tanjungpinang Rahma terkait Peraturan Wali Kota (Perwako) Tanjungpinang Nomor 56 Tahun 2019 tentang tunjangan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) berbuntut panjang.

DPRD Kota Tanjungpinang telah menggunakan hak interpelasi untuk mendengar tanggapan Wali Kota Tanjungpinang terkait Perwako tersebut. Namun, hal itu tak terealisasi lantaran Wali Kota Rahma tak memenuhi undangan DPRD Kota Tanjungpinang yang berujung dikeluarkan hak angket.

Sejumlah akademisi ilmu hukum turut mengomentari keluarnya hak interpelasi hingga hak angket DPRD Kota Tanjungpinang terhadap Rahma terkait Perwako Tanjungpinang nomor 56 tahun 2019.

Baca juga: DPRD Tanjungpinang Gunakan Hak Angket Terkait TPP, Wali Kota juga Terima

Akademisi Ilmu Hukum dari Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Pery Rehendra menilai, kisruh yang terjadi saat ini merupakan hal yang biasa namun harus segera diselesaikan sesuai regulasi yang berlaku.

Menurutnya, DPRD Kota Tanjungpinang memang memiliki hak-hak tertentu yakni interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat.

“Kalau DPRD menggunakan hak bertanya (interpelasi) ya tinggal dijawab,” ujarnya, Senin (1/11).

Ia menjelaskan, hal yang dilakukan DPRD merupakan hal yang wajar dan termasuk dalam tugasnya yakni check and balance. DPRD dan Eksekutif berperan untuk saling mengawasi dan mengimbangi jalannya pemerintahan di Kota Tanjungpinang.

Oleh sebab itu, Wali Kota sebaiknya hadir dan memberikan keterangan agar permasalah yang terjadi dapat menemui titik terang. Apabila tidak segera diselesaikan, maka menghambat kerja lembaga eksekutif itu sendiri.

Baca juga: TPP Tak Kunjung Cair, Pegawai di Tanjungpinang Menjerit

Namun, berdasarkan pantauan Ulasan, pada rapat yang digelar Jumat (30/10) lalu, Rahma tidak menghadiri undangan DPRD Kota Tanjungpinang. Peri pun menyayangkan sikap Wali Kota Tanjungpinang tersebut.

Ketidakhadiran itu pun kemungkinan akan memperkeruh keadaan dan menunjukkan ketidakharmonisan antara lembaga eksekutif dan legislatif di Kota Tanjungpinang. Dikatakannya, seharusnya hal itu tidak terjadi.

Ia menjelaskan, Rahma telah melanggar Pasal 72 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota.

“Di PP (Nomor 12 tahun 2018), kepala daerah harus hadir memberikan kejelasan. Apa cukup dijawab dengan surat saja,” tuturnya lagi.

Dalam PP tersebut, Pery menuturkan, apabila Wali Kota tidak dapat hadir, maka Wali Kota dapat mengirimkan perwakilannya yang sekiranya berkompeten untuk menjawab pertanyaan DPRD.

Lanjutnya, apabila DPRD masih menilai terdapat kejanggalan dalam Perwako yang saat ini menjadi pembahasan, maka DPRD pun berhak melanjutkan ke tahap angket.

Nantinya, DPRD akan membentuk tim atau Panitia Khusus (Pansus) untuk melakukan penyelidikan terkait Perwako yang menjadi permasalahan.

Baca juga: 3000 PNS Pemkot Tanjungpinang Belum Terima TPP

Hal senada juga disampaikan oleh akademisi lainnya, Suryadi. Ia menyarankan agar DPRD Kota Tanjungpinang tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan dan dapat bertindak dengan tenang.

Sementara itu, hak angket merupakan langkah DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

“Kalau sudah sepakat interpelasi, maka selanjutnya DPRD dapat mengajukan hak angket,” ujarnya.

Bila usul hak angket disetujui, DPRD wajib membentuk panitia angket yang terdiri dari semua unsur fraksi yang ditetapkan dengan keputusan DPRD. Setelah itu, DPRD menyampaikan keputusan penggunaan hak angket secara tertulis kepada Kepala Daerah.

Apabila hasil penyelidikan hak angket tersebut ditemukan indikasi tindak pidana, maka DPRD bisa menyerahkan penyelesaian proses tersebut kepada aparat penegak hukum.

Sementara itu, mekanisme pengajuan hak menyatakan pendapat tertuang dalam Pasal 78 PP 12 tahun 2018. Dalam aturan tersebut, hak menyatakan pendapat diajukan oleh anggota DPRD kepada Pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam rapat paripurna.

Pengusulan hak menyatakan pendapat itu wajib disertai dengan dokumen yang memuat materi dan alasan pengajuan usulan pendapat serta materi hasil pelaksanaan hak interpelasi dan atau hak angket.

Tambahnya, dalam Pasal 79 PP 12/2019 menyatakan bahwa usulan tersebut bisa dinyatakan sebagai hak menyatakan pendapat DPRD apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna yang dihadiri paling sedikit 3/4 dari jumlah Anggota DPRD.

“Dan keputusan bisa diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 dari jumlah Anggota DPRD yang hadir dalam rapat. Apabila usul pernyataan pendapat disetujui, lalu DPRD menetapkan sebagai keputusan DPRD yang memuat pernyataan pendapat, saran penyelesaiannya dan peringatan,” tandasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *