Stigma Negatif dan Hak Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus

Hefrina, Kepala Sekolah Luar Biasa (SLB) Putrakami Batam, Kepulauan Riau (Kepri). (Foto: Engesti)

Hefrina mengatakan, SLB Putrakami Batam kemudian terpaksa harus adaptif dengan keadaan. Bagi anak-anak biasa belajar tatap muka tetap ada kendala, apalagi mereka yang berkebutuhan khusus. Malah saat ini proses belajar harus dilakukan secara daring. Baik guru dan ABK kemudian dihadapkan dengan beban ganda.

“Pada akhirnya kami minta izin ke Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Riau untuk menyelenggarakan belajar tatap muka. Tentu dengan penjelasan serta pertimbangan bahwa siswa di sini butuh penanganan khusus, dan hal itu bakal sulit dilaksanakan jika sepenuhnya dilakukan secara daring,” katanya.

Hefrina menjelaskan, setiap ABK tidak serta-merta lahir dengan kebutuhan khusus. Menurutnya tiap anak memiliki beberapa indikasi pada usia dini sebelum akhirnya ditetapkan sebagai ABK. Sehingga parenting amat perlu dilakukan baik di sekolah formal maupun di kalangan masyarakat.

“Saya dan beberapa guru lainnya sering melakukan deteksi dini. Saat melakukan itu, kami biasanya menjelaskan apa saja tanda-tanda anak yang bakal masuk kategori ABK. Juga saat memiliki karakteristik itu, anak itu masuk kategori ABK yang bagaiman,” katanya.

Dalam deteksi dini, Hefrina biasanya menjelaskan seorang anak bakal cenderung ke sifat atau arah tertentu. Bisa ke fisik delay, hiperaktif, disabilitas intelektual, down syndrom, atau slow learner. Perlunya melihat beberapa indikator, kata dia, maka observasi awal perlu dilakukan.

Baca juga: Binda Kepri Vaksinisasi Ratusan Pelajar Berkebutuhan Khusus di Kota Batam

Menurutnya, pihaknya juga terbuka dengan konseling. Dengan catatan, saat konseling orangtua juga turut membawa anaknya untuk diobservasi. Atau jika tidak membawa anaknya, orang tua harus cerita kondisi sebenarnya tentang anaknya tersebut.

Hefrina menegaskan, tiap ABK tetap bisa bersekolah di sekolah reguler tanpa harus belajar di SLB. Namun, dengan catatan orangtua harus terbuka dengan pihak sekolah reguler yang dituju. Sehingga, pihak sekolah itu dapat menghadirkan guru pendamping yang dapat menangani anak itu.

“Jadi ABK juga punya hak dan kesempatan yang sama dengan anak-anak lain pada umumnya. Kita sebagai masyarakat di kehidupan sosial pun tidak boleh memandang mereka sebagai hal yang aneh dan berbeda,” kata dia.

Selama pandemi ini, SLB Putrakami Batam terpaksa harus mengurangi jumlah murid di tiap kelas untuk mematuhi protokol kesehatan. Begitu juga dalam proses belajar mengajar di kelas.

Ia mengatakan, normalnya setiap ruang kelas di SLB PutraKami Batam itu diisi kurang dari 10 siswa. “Satu kelas kadang 3 orang siswa saja,” tambahnya.

“Jadi tiap hari siswanya juga bergantian ke sekolah. Anak-anak berkebutuhan khusus ini tidak sama dengan anak-anak reguler atau biasa lainnya,” ujarnya lagi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *