Janji Politik itu Utang

Robby Patria
Robby Patria, Direktur Perwakilan Public Trust Institute Kepulauan Riau. (Foto: Ist)

Penulis: Robby Patria, Direktur Perwakilan Public Trust Institute Kepulauan Riau

Janji itu ibarat utang. Jika berjanji harus ditepati. Banyak dari kita mudah berjanji tapi tak mudah untuk mewujudkan janji itu. Apalagi kalau soal janji politik. Jika tak ditepati, Anda akan dianggap pembohong.

Baginda Nabi Muhammad SAW ribuan tahun lalu sudah mengingatkan soal janji ini.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Ada empat tanda seseorang disebut munafik. Jika salah satu perangai itu ada, ia berarti punya watak munafik sampai ia meninggalkannya. Empat hal itu adalah: (1) jika berkata, berdusta; (2) jika berjanji, tidak menepati; (3) jika berdebat, ia berpaling dari kebenaran; (4) jika membuat perjanjian, ia melanggar perjanjian (mengkhianati).” (HR. Bukhari dan Muslim).

Banyak di antara kita yang mudah berjanji walaupun dia tahu tak mudah mewujudkan janjinya. Dia pikir kalau berjanji nanti tidak ditagih. Yang penting dapat dulu tujuan setelah itu janji tinggal janji. Padahal janji itu mengikat seperti sebuah kontrak.

Nah, di tahun politik Anda akan mudah menemukan janji janji palsu itu. Mereka beranggapan, urusan memenuhi janji urusan nanti. Rebut dulu kekuasaan apakah itu di legislatif ataupun di eksekutif. Atau di jenjang pemilihan RT dan RW.

Ketika Anda masuk ke politik dan ikut kontestasi pemilihan, maka Anda berjanji meyakinkan pemilih untuk mendapatkan dukungan elektoral.

Nah, ketika di luar urusan politik, karakter orang yang suka berjanji ini sepertinya menjadi kebiasaan. Sehingga kita diingatkan untuk mewaspadai model manusia seperti itu. Memang di era politik yang sudah terlalu bebas dengan uang menjadi faktor penting, mereka yang mencalonkan mau menjadi pejabat publik harus berjanji. Seharusnya sudah saatnya tidak mengucapkan janji daripada harus mencari alasan karena janji tak mungkin terpenuhi.

Misalnya janji kepada warga untuk membangunkan parit, membangun jalan raya, memberikan sepeda motor, memberikan beasiswa dan janji memberikan bantuan modal usaha.

Terkadang seseorang berjanji untuk menyenangkan warga yang ditemui. Bahkan ada yang berjanji dengan tujuan untuk membahagiakan kekasih hatinya.

Banyak calon kepala daerah di mana saja di Indonesia sebelum mencalonkan mereka berjanji. Bahkan ditulis di atas materai agar ketika berkuasa sama sama menaati perjanjian yang dibuat.

Alhasil, setelah menang, kekuasana memang begitu menggoda untuk dibagi ke pihak lain. Jika bisa dikuasai sendiri, mengapa harus dibagi bagi.

Walaupun itu kepada wakil yang sudah sama sama berjuang merebut kekuasaan. Sama sama habis duit untuk membiayai kampanye saat pilkada.

Inilah penyebab pasangan kepala daerah di Indonesia lebih banyak berselisih paham dengan wakil mereka. Sehingga konflik antara wakil dengan bupati, antara gubernur dengan wakil gubernur mudah kita lihat di media.

Bahkan ada yang sampai melaporkan pasangannya ke aparat hukum. Wakil Bupati Bojonegoro melaporkan bupati ke polisi tuduhan pencemaran nama baik. Bupati Morowali juga melaporkan wakilnya ke polisi soal tuduhan fitnah.

Wali Kota Tegal Yon Supriyono juga melaporkan wakilnya atas dugaan pencemaran nama baik dan keterangan palsu.

Gubernur Sumatera Selatan tahun 2020 Alex Noerdin melaporkan wakil gubernur dengan tuduhan pencemaran nama baik yang dilakukan wagub saat pidato.

Sederet kasus kasus tersebut adalah contoh konflik kepala daerah ketika saat menjabat. Ketidak sesuaian antara janji di awal kampanye dengan pelaksanaan setelah menjabat sebagai kepala daerah tak diwujudkan.

Penyebab pecah

Kita tentu sangat biasa mendengar tak ada makan siang gratis atau no free lunch. Artinya untuk menjadi kepala daerah, pasangan calon tetap mengeluarkan namanya biaya kampanye. Sulit rasanya menemukan kepala daerah ikut pilkada tak keluar dana kampanye.

Jabatan yang diperoleh itu bukan tiba tiba jatuh dari langit. Kepala daerah diperoleh melalui perjuangan yang luar biasa keras. Mengorbankan waktu, duit, dan kesempatan bersama keluarga demi menemui warga. Senator di Malaysia meninggal dunia saat kampanye di tahun 2022.

Biaya kampanye yang harus dikeluarkan seperti biaya saksi di tiap Tempat Pemungutan Suara (TPS), biaya untuk melobi partai pengusung. Ada juga partai yang tidak meminta mahar.

Kemudian biaya konsumsi saat kampanye. Biaya untuk menggerakkan masa, membuat baleho, spanduk dan biaya komunikasi di media massa.
Biaya pertemuan dengan warga, biaya bantuan yang diminta warga untuk gotong royong dan pertandingan pertandingan olahraga, kesenian, maupun kegiatan sunatan massal. Adalagi biaya jalan santai, untuk memberikan hadiah, kegiatan mendatangkan artis.

Inilah contoh biaya kampanye untuk mengenalkan calon di tengah pemilih. Jika semua biaya politik di tanggung oleh gubernur atau bupati, mungkin sang wakil tidak banyak protes.

Namun ketika biaya kampanye juga dikeluarkan wakil, maka sangat wajar jika wakil ingin mendapatkan haknya sebagai wakil sesuai dengan janji di awal perjodohan keduanya.

Bahkan di Kepulaaun Riau ada wakil bupati yang menggadaikan rumah agar bisa menutupi biaya kampanye ketika pemilihan. Namun saat mereka dilantik, wakil tidak diberikan kewenangan untuk membantu menjalankan roda pemerintahan.

Kesepakatan hanya tinggal kesepakatan. Karena jika sudah berkonflik, maka pada pilkada berikutnya, keduanya akan mencari pasangan lain. Tentu kekuasaan digenggam erat bupati atau gubernur, wakil tak memiliki banyak modal seperti bupati atau gubernur.

Banyak kasus, ada perlakuan berbeda kepala OPD lebih merapat dengan bupati, walikota atau gubernur dibanding dengan wakil. Karena gubernur memiliki kewenangan untuk memindahkan kepala OPD.

Dan kesenjangan itu nampak di tengah masyarakat. Ketika misalnya jika kepala daerah Walikota hadir, maka OPD yang mendampingi ramai. Sementara jika wakil yang membuka acara, OPD yang hadir minim. Bahkan tak didampingi. Ini contoh mudah dilihat di tengah kelangsungan pemerintah.

Hubungan kepala daerah tambah parah ketika keduanya akan berkompetisi di pilkada berikutnya. Kepala daerah tentu akan merasa ada pesaing ke depan. Hal ini tentu saja membuat kepala daerah semakin membatasi gerak wakil untuk mengambil pengaruh di tengah birokrasi pemerintah.

Contoh kegiatan membagikan bansos di tengah warga, maka kegiatan tersebut hanya dibuat kepala daerah. Wakil tak akan diberikan kegiatan yang melibatkan masyarakat ramai.

Sehingga wakil kalaupun diberikan kegiatan seperti kegiatan yang tidak berdampak terhadap elektoral. Jika UU 23 tahun 2014 tidak disebutkan dengan jelas kewenangan wakil kepala daerah, maka hubungan dengan wakil kepala daerah akan terus diwarnai konflik sepanjang mereka berkuasa.

Tentu akan berbeda jika kedua pemimpin tersebut saling memahami tugas dan kewenangan sesuai dengan janji politik yang mereka buat di awal sebelum mereka mendaftar di Komisi Pemilihan Umum.

Lagi lagi ini soal janji yang harus disepakati. Jika sudah ada karakter suka menghianati janji, maka mereka akan terbiasa berjanji dan tidak ditepati.

Ada kata bagus yang kita patut renungkan, the sweetness of the promise if not shown through real action will only left scars in the heart.
“Manisnya janji jika tak ditunjukkan lewat perbuatan nyata hanya akan menggoreskan luka di hati.”

Ketika janji politik tak ditepati, maka jangan heran mereka yang sedang berkuasa pecah kongsi dan saling berlawanan di kontestasi berikutnya. Dan sebagai orang yang dijanjikan, ya jangan terlalu percaya soal janji. (*)