JAKARTA – Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) resmi menggantikan logo halal menggantikan logo yang diberikan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Belakangan, logo halal yang baru itu disebut gunungan wayang.
Penetapan logo halal baru ini berdasarkan Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal yang berlaku efektif terhitung sejak 1 Maret 2022.
Label baru ini memiliki bentuk gunungan dan motif surjan. Kemenag menyebut bentuk dan corak seperti artefak budaya dengan ciri khas yang unik dan berkarakter kuat untuk merepresentasikan halal Indonesia.
“Bentuk Label Halal Indonesia terdiri atas dua objek, yaitu bentuk gunungan dan motif surjan atau Lurik Gunungan pada wayang kulit yang berbentuk limas, lancip ke atas. Ini melambangkan kehidupan manusia,” kata Kepala BPJPH Aqil Irham dalam keterangan tertulis, Ahad (13/3).
Baca juga: Naik Rp10 Juta, Kemenag Usulkan Biaya Haji 2022 Jadi Rp45 Juta
Logo berbentuk gunung itu memuat kaligrafi huruf arab yang terdiri dari Ḥa, Lam Alif, dan Lam dalam satu rangkaian yang membentuk kata Halal.
Aqil berujar bentuk gunungan mengandung filosofi tersendiri, yakni menggambarkan semakin tinggi ilmu dan semakin tua usia, maka manusia harus semakin dekat dengan Sang Pencipta.
Sedangkan motif surjan mengandung makna filosofi yang cukup dalam. Di antaranya bagian leher baju surjan memiliki kancing 3 pasang (6 biji kancing) yang seluruhnya menggambarkan rukun iman.
Selain itu, kata Aqil, motif surjan yang sejajar satu sama lain mengandung makna sebagai pemberi batas yang jelas.
Logo halal baru tersebut mendapat kritik keras dari Wakil Ketua Umum MUI, Anwar Abbas. Ia menilai logo tersebut lebih mengedepankan artistik dibanding penonjolan kata halal dalam bahasa Arab.
Baca juga: Gerakkan Ekonomi Syariah, Erick Tohir Peroleh Penghargaan dari MUI
Anwar turut menyayangkan diksi MUI sudah hilang sama sekali dalam logo baru itu. Ia menceritakan saat tahap awal pembentukan logo baru, ada 3 unsur yang ingin diperlihatkan, yaitu BPJPH, MUI dan halal.
“Di mana kata ‘MUI’ dan kata ‘halal’ ditulis dalam bahasa Arab. Tetapi setelah logo tersebut jadi, kata BPJPH dan MUI-nya hilang,” ujarnya.
Anwar mengaku banyak masyarakat yang mengeluhkan penerbitan logo baru itu kepada dirinya. Menurutnya, gambar gunungan dalam logo tersebut kental dengan dunia perwayangan budaya Jawa dan tak mencerminkan kata halal dalam tulisan arab.
Menurut Anwar, pemerintah tak bisa menampilkan sisi kearifan nasional dibalik logo itu.
“Karena yang namanya budaya bangsa itu bukan hanya budaya Jawa, sehingga kehadiran dari logo tersebut menurut saya menjadi terkesan tidak arif,” katanya.
Sebagai informasi, MUI sebelumnya memiliki kewenangan sertifikasi halal. Logo halal yang dipakai di Indonesia pun berada di bawah kewenangan MUI.
Sejak diterbitkannya UU tentang Jaminan Produk Halal, sertifikasi halal telah berpindah dari MUI kepada BPJPH Kemenag. Namun, Anwar menegaskan proses penyusunan fatwa soal kehalalan produk dalam UU itu masih menjadi tanggung jawab MUI.